Sitokin merupakan salah satu protein yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Dalam kondisi normal, sitokin membantu sistem imun berkoordinasi dengan baik dalam melawan bakteri atau virus penyebab infeksi.
Namun, jika diproduksi secara berlebihan, sitokin justru dapat menyebabkan kerusakan di dalam tubuh. Inilah yang disebut sebagai badai sitokin.
Seputar Badai Sitokin
Badai sitokin (cytokine storm) terjadi ketika tubuh melepaskan terlalu banyak sitokin ke dalam darah dalam jangka waktu yang sangat cepat. Kondisi ini membuat sel imun justru menyerang jaringan dan sel tubuh yang sehat, sehingga menyebabkan peradangan. Kondisi ini diketahui dengan pemeriksaan D-dimer dan CRP pada penderita COVID-19.
Tak jarang peradangan tersebut membuat organ-organ di dalam tubuh menjadi rusak atau gagal berfungsi. Hal inilah yang membuat badai sitokin perlu diwaspadai, karena bisa sampai menyebabkan kematian.
Pada penderita COVID-19, badai sitokin menyerang jaringan paru-paru dan pembuluh darah. Alveoli atau kantung udara kecil di paru-paru akan dipenuhi oleh cairan, sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran oksigen. Itulah sebabnya mengapa penderita COVID-19 kerap mengalami sesak napas.
Gejala Badai Sitokin pada Penderita COVID-19
Sebagian besar penderita COVID-19 yang mengalami badai sitokin mengalami demam dan sesak napas hingga membutuhkan alat batu napas atau ventilator. Kondisi ini biasanya terjadi sekitar 6–7 hari setelah gejala COVID-19 muncul.
Selain demam dan sesak napas, badai sitokin juga menyebabkan berbagai gejala, seperti:
- Kedinginan atau menggigil
- Kelelahan
- Pembengkakan di tungkai
- Mual dan muntah
- Nyeri otot dan persendian
- Sakit kepala
- Ruam kulit
- Batuk
- Napas cepat
- Kejang
- Sulit mengendalikan gerakan
- Kebingungan dan halusinasi
- Tekanan darah sangat rendah
- Penggumpalan darah
Penanganan Badai Sitokin
Penderita COVID-19 yang mengalami badai sitokin memerlukan perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Beberapa langkah penanganan yang akan dilakukan dokter, meliputi:
- Pemantauan tanda-tanda vital, yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh, secara intensif
- Pemasangan mesin ventilator
- Pemberian cairan melalui infus
- Pemantauan kadar elektrolit
- Cuci darah (hemodialisis)
- Pemberian obat anakinra atau tocilizumab (actemra) untuk menghambat aktivitas sitokin
Meski demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penanganan yang tepat terhadap penderita COVID-19 yang mengalami badai sitokin.
Pada penderita COVID-19, badai sitokin dapat menyebabkan kerusakan organ yang bisa mengancam nyawa. Agar terhindar dari kondisi serius ini, Anda disarankan untuk selalu mematuhi protokol kesehatan kapan saja dan di mana saja.
Bila Anda atau anggota keluarga mengalami gejala COVID-19, seperti batuk, demam, pilek, lemas, sesak napas, anosmia, atau gangguan pencernaan, segera lakukan isolasi mandiri dan hubungi hotline COVID-19 di 119 Ext. 9 untuk mendapatkan pengarahan lebih lanjut.
Pemeriksaan D-dimer dan CRP pada Pasien COVID-19
Infeksi virus Corona dapat memengaruhi berbagai sel dan jaringan tubuh, termasuk darah. Nah, pemeriksaan D-dimer dan CRP pada pasien COVID-19 dilakukan untuk mengetahui peningkatan kadar protein dalam darah.
Pengukuran kadar protein tersebut dapat dijadikan parameter untuk mengetahui apakah ada gumpalan atau bekuan darah dan mendeteksi infeksi atau peradangan dalam tubuh.
Pemeriksaan D-dimer
Pemeriksaan D-dimer dilakukan untuk mendeteksi keberadaan protein D-dimer dalam darah. Protein ini berfungsi untuk memecah darah yang membeku di pembuluh darah.
Dalam kondisi normal, D-dimer tidak akan terdeteksi. Apabila terdeteksi, itu berarti ada bekuan darah di dalam tubuh, meski tidak diketahui lokasinya secara spesifik. Jumlah D-dimer yang biasa dijadikan patokan untuk mendeteksi adanya bekuan darah adalah 500 nanogram per mililiter darah atau lebih.
Pada penderita COVID-19, jumlah protein D-dimer dapat meningkat secara signifikan. Hal ini diduga disebabkan oleh badai sitokin yang memicu ketidakseimbangan antara pembentukan dan pemecahan bekuan darah.
Semakin tinggi jumlah D-dimer dalam darah, semakin besar pula risiko pasien COVID-19 mengalami pengentalan atau penggumpalan darah. Kondisi ini bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti trombosis vena dalam, emboli paru, atau stroke.
Pemeriksaan CRP
Jika pemeriksaan D-dimer dilakukan untuk mendeteksi protein D-dimer, pemeriksaan CRP ditujukan untuk mengetahui kadar protein CRP (C-Reactive Protein) dalam darah. Tes ini dilakukan untuk mendeteksi peradangan pada tubuh atau mengetahui tingkat keparahan kondisi kronis tertentu.
Dalam kondisi normal, jumlah protein CRP dalam darah adalah kurang dari 10 miligram per liter darah. Namun, pada penderita COVID-19, jumlah CRP bisa meningkat melebihi batas normal, bahkan mencapai 86%.
Kadar CRP akan naik dengan cepat 6–8 jam setelah gejala pertama muncul dan akan mencapai puncaknya dalam waktu 48 jam. Kadar CRP akan turun jika peradangan selesai dan pasien dinyatakan sembuh.
Sama seperti kenaikan D-dimer, peningkatan CRP dalam darah penderita COVID-19 juga diduga disebabkan oleh badai sitokin. Selain itu, peningkatan protein CRP juga dipercaya berkaitan dengan kerusakan jaringan tubuh.
Meningkatnya kadar protein CRP pada pasien COVID-19 bisa menyebabkan penurunan saturasi oksigen, trombosis vena dalam dan emboli paru, cedera ginjal akut, hingga kematian.
Bila Anda dinyatakan positif COVID-19, mengalami gejala sedang atau berat, dan sedang menjalani isolasi mandiri, baik di rumah maupun pusat isolasi, ada baiknya jika Anda melakukan pemeriksaan D-dimer dan CRP secara rutin dengan dokter untuk mendeteksi infeksi atau bekuan darah sejak dini.
Anda juga dapat berkonsultasi dengan dokter melalui aplikasi chat ALODOKTER guna mendapatkan informasi seputar pemeriksaan dan penanganan COVID-19 yang dapat Anda lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar