Enam tahun sudah revolusi Libya berjalan. Namun, bukannya mengalami perubahan positif, negeri di wilayah Afrika Utara itu malah terjebak dalam kekacauan tanpa akhir.
Bagi kebanyakan warga Libya, revolusi tersebut hanya menghasilkan kerusuhan dan aksi teroris.
Kebanyakan orang Libya menyesalkan penggulingan Muammar Khadafi, bukan karena mereka mencintai rezimnya, tapi karena pilihan revolusi ternyata tak sesuai harapan, kata Jalal Fituri, seorang pengajar di universitas setempat, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (18/2/2017).
Fituri menambahkan, kekacauan dan kondisi tidak aman menggantikan keamanan enam tahun lalu. Dan lebih buruknya lagi praktik korupsi merajalela di seluruh Libya.
"Ketika kami berdemonstrasi menentang rezim (Khadafi), kami memimpikan kebebasan dan menikmati kekayaan kami. Namun, kami sekarang dikelilingi oleh penjahat dan gembong perang. Bukannya menikmati kekayaan minyak kami, kemiskinan telah meningkat dan warga tak berdaya," katanya.
Sementara itu, Ibtisam Naili, seorang perawat di Tripoli, mengatakan percaya ada persekongkolan internasional dalam revolusi itu.
"Mereka yang berdemonstrasi menentang rezim Khadafi pada 2011 dibodohi politisi Libya di luar negeri yang sangat menginginkan kekuasaan. Mereka mengambil-alih kekuasaan dengan mencuci otak pemuda Libya," katanya.
Naili melanjutkan, Libya telah terpecah akibat konflik di seluruh negeri.
"Barat dan timur terpisah dan hasilnya tiga pemerintah yang bertikai yang mengakui keabsahan dan dua parlemen di timur dan barat, keduanya mengaku 'mereka mewakili rakyat Libya'," kata Naili, geram.
Demonstrasi guna menentang rezim Khadafi meletus pada 17 Februari 2011 di Kota Benghazi, Libya Timur, dan dengan cepat menyebar ke kota lain. Beberapa pekan kemudian, demonstrasi damai itu berubah menjadi konflik bersenjata antara gerilyawan Libya dan pasukan Khadafi.
Pada Oktober 2011, gerilyawan menangkap dan membunuh Khadafi di kota kelahirannya, Sirte, dan menggulingkan rezimnya yang telah berkuasa selama 42 tahun.
"Kami turun ke jalan dengan spontan. Kami bersatu sekalipun kami tidak saling mengenal. Kami memiliki harapan tinggi dan setiap orang memimpinkan Libya baru yang stabil dan makmur. Tapi sayangnya, tidak semua keinginan dapat terwujud," kata Mohamed An-Ne'mi, seorang gerilyawan dari Tripoli.
Tapi lelaki tersebut tidak kehilangan harapan buat negerinya.
"Kami akan bersabar dan kami memiliki keyakinan pada tujuan kami meskipun kekacauan melanda negeri kami. Kami tetap optimistis mengenai masa depan kami," katanya.
Di lain pihak, Najwa Al-Hami, seorang pegiat hak asasi manusia, mengatakan apa yang terjadi di Libya bukanlah revolusi.
"Mana mungkin ini revolusi rakyat sedangkan tiga-perempat rakyat mendukung Khadafi?" kata Al-Hami.
"Apakah protes oleh ratusan orang di setiap kota adalah revolusi? Saya percaya dinas intelijen barat berada di belakangnya untuk mengubah rezim Khadafi melalui kekerasan."
"Revolusi milik setiap politikus yang memiliki dwi-kewarganegaraan dan memiliki rekening bank di luar negeri. Mereka sangat ingin merayakan peringatan sebab itulah alasan mengapa mereka berada pada posisi ini," ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar