1. Pendahuluan
Tidak
 bisa dipungkiri bahwa sejak soeharto jatuh dari kekuasaanya dan kran 
kebebasan mulai terbuka, arus deras dinamika sosial politik masyarakat 
kian hari kian bergerak cukup panjang. Berbagai agenda dan aspek 
kehidupan bernegara mulai dari penegakan hukum. kebebasan media hingga 
peneraparan otonomi daerah kini direspon secara massive oleh masyarakat.
Terlihat kemudian, bahwa mass euphoria tersebut
 tidak hanya menimbulkan konstruksi yang positif bagi arah dan 
perkembangan kehidupan sosial politik masyarakat, tapi juga muncul dalam
 bentuk yang kurang diinginkan bagi pencapaian cita-cita bernegara dan 
bermasyarakat. Hal ini muncul antara lain karena selain akibat dari nature response masyarakat
 dalam mengakhiri era rezim yang tertutup dan menindas di masa orde 
baru, juga karena perubahan yang dicita-citakan tidak pernah memiliki 
konsep dan disain yang jelas baik konsepsi pelaksanaan maupun evaluasi 
penerapannya.
Akibatnya,
 muncul berbagai opini yang tidak sepenuhnya benar tentang kekacauan dan
 kondisi bahwa Orde Baru lebih kondusif ketimbang Orde Reformasi.
2. Syariat Islam Sebagai Agenda 
Ditengah
 hiruk pikuknya dinamika keterbukaan di era reformasi ini, berbagai 
kelompok Islam kembali menyuarakan syariat Islam sebagai sebuah agenda 
yang harus mendapat perhatian. Tidak hanya itu, tuntutan yang mengusung 
syariat Islam juga telah sampai pada upaya positifikasi syariat kedalam 
perundang-undangan nasional baik di pusat maupun daerah. Disyahkannya 
Undang-Undang Perbankan Syariah oleh DPR beberapa waktu lalu adalah 
bentuk dari semakin munculnya Syariat Islam sebagai agenda nasional. 
Tidak
 hanya dipusat, peletakan syariat Islam sebagai agenda pemerintahan 
daerah juga cukup marak dilakukan oleh masyarakat. Berbagai lembaga dan 
kegiatan yang ditujukan untuk mengkampanyekan ‘pelembagaan’ syariat 
Islam dalam ruang-ruang publik terus dikumandangkan. Dengan berbagai 
kekurangan dan kelebihannya lembaga-lembaga masyarakat yang memfokuskan 
diri dalam kegiatan kampanye dan penerapan syariah didirikan.
Walaupun
 begitu, upaya-upaya masyarakat dalam mempublikasi penerapan syariah 
Islam tidak menemui jalan yang bebas hambatan. Berbagai kontroversi dan 
penolakan juga muncul dari dalam kelompok dimasyarakat itu sendiri 
dengan argumen yang berbeda-beda. Namun begitu tidak juga sedikit yang meragukan bahkan menolak penerapan syariah sebagai hukum.
Tidak
 hanya terjadi di Indonesia, dibeberapa Negara muslim di Afrika dan Asia
 juga masih memperdebatkan tentang pelaksanaan syariat Islam didalam 
kehidupan mereka. Kontroversi ini sesungguhnya bukanlah suatu kejutan. 
Lebih dari itu, Abul A’la Al-Maududi, pemikir muslim Pakistan sudah 
memprediksi bahwa ketika diskursus tentang penerapan syariah ini muncul 
maka sesungguhnya pertanyaan dan protes bukan hanya muncul dari kalangan
 non muslim tapi juga dari elit muslim yang terdidik.[1]
Tetapi
 ramainya kontroversi tersebut seakan tetap menyertai upaya pemerintah 
dalam menjadikan syariah sebagai salah satu kerangka yang ingin 
diterapkan dalam kebijakan terutama dalam perundang-undangan. Keadaan 
ini semakin terwujud lebih cepat lagi, ketika rezin pemerintah memasuki 
era Reformasi. Dengan posisi UUD 1945 yang telah diamandemen, kekuasaan 
membentuk undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan 
persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi 
norma-norma hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau
 KUH Perdata peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan 
berbagai peraturan perundang-undangan nasional terutama sekali pada 
ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan, yang kini 
dikategorikan sebagai hukum ekonomi.
Pemerintah
 juga pernah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan
 Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan 
kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat 
menjadi hukum positif. Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang 
menjadi kewenangan dari Peradilan Agama. Tentu saja subyek hukum dari 
hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi warganegara yang beragama
 Islam, atau yang secara sukarela menundukkan diri kepada hukum Islam. 
Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang Wakaf, yang 
mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam ke dalam hukum positif. 
Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah 
memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang 
berkaitan dengan perbankan dan asuransi.
3. Syari’ah Islam dan Sejarah Hukum
Sebagai
 suatu sistem hukum yang diyakini paling lengkap, syariah kemudian 
menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi para tokoh, pemerhati, 
peneliti dan komunitas diberbagai belahan dunia tidak hanya dijadikan 
sebagai code yang mengatur kehidupan tapi lebih jauh telah 
menjadi bagian dari diskursus global dan tarik menarik ideologisasi yang
 dihubungkan dengan datangnya tata dunia baru. Kecenderungan tersebut 
tak terkecuali terjadi di Indonesia saja, negeri yang secara faktual 
dihuni oleh mayoritas muslim terbesar di dunia. Berbagai kelompok 
masyarakat berlomba-lomba mengkaji dan menyebarkan gagasan bahkan 
mengajak tentang perlunya menjadikan syari’ah sebagai system kehidupan 
baru yang layak dipilih.
Dalam peta system hukum global, syariah telah menempatkan dirinya sejajar dengan dua system hukum lainnya yaitu: Roman Law (hukum Romawi) dan Common Law (hukum kebiasaan tak tertulis yang berasal dari Inggris). Sistem Roman Law[2] yang mulai berkembang abad 12 dan 13 melahirkan system hukum dibeberapa Negara Eropa seperti Prancis (French Civil Code/Napoleon Code) 1804, Jerman (German Civil Code) abad 17 dan Itali (Italian Civil Code)
 juga ikut melahirkan system hukum Belanda yang selama tiga setengah 
abad menerapkan system hukum tersebut di Indonesia. Aksi kolonisasi ini 
juga membawa system hukum Roman Law ke beberapa Negara jajahan 
di luar Eropa seperti di benua Asia dan Afrika. Ciri utama system hukum 
Romawi ini mendasarkan pada ketersusunan peraturan perundang-undangan 
dalam suatu kitab undang-undang yang tertulis. Berbeda dengan system Common Law yang mendasarkan pada ketentuan hukum yang lebih dulu (judicial precedent), yang berasal dari hukum tidak tertulis bukan pada undang-undang. Salah satu pengaruh System Roman Law yang memperkaya khazanah terminologi hukum antara lain stare decisis, culpa in contrahendo atau pacta sunt servanda.[3]
Begitu juga dengan system Common Law Inggris yang mulai berproses sekitar abad 11 (1154). Raja Henry II menjadi orang yang berperan melembagakan Common Law  dalam sebuah unifikasi sistem hukum Common Law antara
 lain melalui: [1] penggalian tradisi lokal menjadi aturan nasional, [2]
 memberdayakan sistem juri pada kasus warga negara untuk menyelidiki 
tuduhan kriminal yang lebih realistis dan klaim publik. Sistem ini 
menyebar ke seantero dunia melalui penjajahan dan ekspansi politik 
negeri kerajaan tersebut. Akibatnya system hukum ini dianut tidak hanya 
dinegeri bekas jajahannya yang umumnya menjadi persemakmuran (Common wealth)
 Inggris Raya, seperti Wales (Irlandia Utara, Republik Irlandia) 
Malaysia, Brunei, Hong Kong, Singapura, Australia dan lain-lain, tapi 
juga di anut oleh sebagian besar Amerika Serikat (Kanada kecuali Quebec,
 Hukum Federal Amerika kecuali Lousiana). Walaupun didasarkan pada 
bentuk hukum tak tertulis, namun Common Law tetap menekankan pada keberadaan kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari pengalaman-pengalaman empirik akan tetapi antara Roman Law dan Common Law sempat bertemu dalam satu garis yaitu sama-sama menekankan akal, nalar dan rasionalitas.[4]
Bila
 akal, nalar dan rasio menjadi ciri dua sistem hukum tersebut, syariah 
selain juga logika, menambahkan kekhasannya dengan unsur-unsur immanent yang tidak sekedar berdiri sebagai sebuah system aturan kehidupan tapi juga merupakan wahyu yang diturunkan (revealed). Namun demikian menurut George Abraham Makdisi[5], hukum Islam juga memiliki kesamaan dengan system Common Law pada awal perkembangnya pada pertengahan abad, yaitu sama-sama terletak pada: keaslian (Indigenous), hukum nasional (National Laws), berdasarkan pengalaman (based on custom)
 antara lain berupa yurisprudensi hakim dengan system pengadilan juri 
dan saksi yang disumpah. Itulah mengapa hukum Islam lebih dekat dengan 
system Common Law daripada Roman Law. Perbedaan utama keduanya terletak pada sumber utama yaitu wahyu pada hukum Islam dan logika manusia murni pada Common Law dan Roman Law.[6]
  
Pengakuan
 syariah sebagai salah satu sistem hukum dunia bukanlah suatu hal yang 
di ada-adakan. ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat ke 14 (1953-1969), 
Earl Warren (1891-1974)[7] pernah menjelaskan dengan lugas di depan peserta pertemuan ahli-ahli hukum dunia (World Peace Through Law) 1963 di Athena Yunani bahwa:
“
 di dinding ruang tempat kami menyidangkan perkara-perkara yang di putus
 oleh Mahkamah Agung, terpahat lukisan/lambang para tokoh pembangun 
hukum dunia. Kami susun sedemikan rupa, sehingga di sebelah kiri dinding
 ada nama-nama seperti Menes (mesir), Hammurabi (Babylon), Musa dan Salomon (Israel), Lycurgus, Solon dan Draco (Yunani), Confius (Cina) dan Augustus (Roma) sebagai sembilan tokoh pembangun hukum yang hidup sebelum masehi. Sedangkan nama-nama seperti Justisianus (Roma), Muhammad (Islam), Charlemagne (Jerman), King Jhon dan Black Stone (Inggris), Saint Louist dan Napoleon (Prancis), Hugo Grotius (Belanda) dan Marshall
 (Amerika Serikat) berada disebelah kanannya yang diletakan sebagai 
sembilan tokoh pembangun hukum dunia yang hidup sesudah masehi. Dan 
selalu setiap ketika kami bersidang termasuk ketika mendengarkan 
argumen-argumen para pengacara dan memutuskan perkara-perkara, 
tokoh-tokoh pembangun hukum dunia itu seakan-akan memandang kebawah 
sedang memperhatikan kami dan tak jarang kami yang menengadah ke atas 
kepada mereka untuk mencari ilham dalam memutus perkara”[8]
Dalam
 mengeksplorasi nilai-nilai yang hidup di masyarakat ke dalam sebuah 
tatanan hukum, tokoh-tokoh tersebut tak jarang saling mengadopsi bahkan 
‘mencuri’ konsep-konsep asli yang telah di rumuskan oleh tokoh lainnya 
seperti yang di lakukan Napoleon Bonaparte ketika melakukan ekspedisi ke
 Mesir. Dengan segala taktik dan strateginya, Napoleon mampu memboyong 
naskah dan manuscript berbagai ilmu pengetahuan Islam termasuk 
ilmu hukum yang tersimpan di Musium Iskandariah ke Prancis untuk 
dipelajari para cendikiawan di sana.[9]
 Oleh karena itu, paska kepulangan Napoleon dari Mesir, penguasa Prancis
 menerbitkan sebuah kitab kodifikasi hukum perdata yang disebut sebagai Code Napoleon.[10]
  
Tak
 lama setelah kitab kodifikasi itu lahir, lewat proses kolonialisme yang
 panjang kitab tersebut kemudian diadopsi menjadi inspirasi Belanda 
untuk membuat Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata Belanda yang 
selanjutnya di akui dengan asas konkordansi sehingga Indonesia memiliki 
Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata sendiri. Maka tak berlebihan 
bila bagaimanapun juga Code Napoleon sangat dipengaruhi oleh hukum Islam yang berlaku di Mesir pada saat itu.
Harus 
diakui bahwa konkordansi KUH Perdata Belanda menjadi KUH Perdata 
Indonesia merupakan klimaks pilihan hukum dari Eklektisime[11]
 antara berbagai hukum yang ada dan berkembang di Indonesia. Sudah 
menjadi bagian dari perjalanan sejarah pemberlakuan hukum nasional bahwa
 antara Hukum Islam dan Hukum Belanda pada waktu itu saling mengisi 
‘berebut posisi’ sebagai hukum yang mengatur masyarakat Indonesia. Namun
 begitu, jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, hukum adat antar 
suku-suku di Indonesia yang kebanyakan tidak tertulis mulai di warnai 
oleh Hukum Islam.
Sejak
 kurun waktu tahun 1400-1500 Masehi, para ahli hukum kerajaan Islam 
Malaka sering datang ke Kerajaan Samudera Pasai di Aceh untuk memecahkan
 permasalahan hukum yang sering muncul di Malaka. Karena perkembangan 
hukum Islam yang sangat pesat, pada abad ke XIV Kerajaan Samudera Pasai 
dibawah Sultan Malikul Zahir menyebarkan Hukum Islam ke kekerajaan Islam
 di nusantara lainnya. Karya Nuruddin ar-Raniri yang berjudul as-sirath al-mustaqim yang
 ditulis sekitar tahun 1628 menjadi buku panduan hukum Islam pertama 
yang mulai diperkenalkan ke wilayah-wilayah kerjaaan Islam lain di 
nusantara. Buku ini kemudian di urai kembali oleh Syekh Arsyad 
al-Banjari dalam karyanya yang berjudul Sabil al-Muhtadi yang pada gilirannya menjadi pegangan berbagai penyelesaiaan sengketa di kesultanan Banjar.[12]
Setelah
 dua karya fenomenal tersebut, beberapa kerajaan Islam di Palembang, 
Banten, Demak, Gresik, Ngampel, Tuban, Kutai, Sumbawa, Jepara, Butuni 
(Buton) dan Mataram mulai menerbitkan beberapa produk panduan hukum bagi
 kerajaan dan rakyatnya. Tapi yang lebih unik lagi beberapa buku tentang
 aturan-aturan yang berdasarkan hukum Islam terbit atas prakarsa dan 
inisiatif penguasa Belanda untuk dijadikan pegangan oleh para hakim dan 
pejabat pemerintah kolonial seperti Compendium der Voornaamste Javaanisch Wetten Nauwkeuring Getrokken uit het Mohammedaansgh Wetbok Mogharraer (Mogharraer Code) yang diterbitkan untuk Landraad Semarang pada tahun 1750. Di Cirebon terdapat Cirbonsch Rechtboek yang di susun atas usul Residen cirebon, P. C. Hosselaar (1757-1765), Compendium Indlansch Wetten bij de Hoven van Bone en Goa yang
 diterbitkan Gubernur Jenderal VOC di Sulawesi, Jan Dirk Van Clootwijk 
dan kitab hukum perkawinan dan kewarisan Islam oleh pengadilan VOC (Compendium Freijer) yang terbit pada 25 Mei 1760.[13]
Atas
 beberapa fakta tersebut Lodewijk Willem Christian Van den Berg 
(1845-1927) menyimpulkan beberapa fenomena tersebut dalam sebuah teori 
yang di sebut reception in complexu yang bermakna bahwa orang 
Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya
 dan sebagai satu kesatuan atau dengan kata lain berarti bagi rakyat 
pribumi berlaku hukum agamanya. Teori Van den Berg ini juga dibenarkan 
oleh Solomon Keyzer (1823-1868) penulis buku pedoman hukum Islam dan 
hukum pidana Islam untuk masyarakat Islam Jawa.[14]
Selain
 beberapa kodifikasi hukum yang dilakukan penguasa Belanda di berbagai 
tempat di Indonesia, banyak ahli hukum dan pejabat Belanda termasuk pada
 era kekuasaan Raffles yang berpendirian bahwa hukum yang berlaku di 
Jawa adalah hukum Islam (The Kor’an Noerm General Law of Java) 
dan Deandles yang menginspirasi Van den Berg untuk melahirkan teori 
pengakuan pemerintah kolonial terhadap berlakunya hukum Islam bagi 
masyarakat setempat. Karya JEW van Nes yang fokus bahasannya tertuju 
pada madzhab Syafi’I (1850) berjudul Boedelsscheidingen of Java Volgens de Kitab Saphi’i dan A. Meurenge yang mengeluarkan saduran Handboek van het Mohammedaansche Recht (1884) adalah
 dorongan nyata bagi ahli hukum Belanda yang tertarik pada hukum Islam 
tersebut untuk terus mencermati hukum yang hidup di masyarakat 
Indonesia.[15]
Posisinya
 yang juga merangkap sebagai pemangku kebijakan dibidang hukum penguasa 
Belanda pada waktu itu membuat Van den Berg tidak segan-segan membuat 
pengakuan terhadap kewenangan badan-badan peradilan agama untuk 
menjalankan yurisdiksi hukumnya berdasarkan hukum Islam berdasarkan staatsblaad 1882 No.152. Ia juga aktif melakukan pengkajian dan pengumpulan beberapa bahan tertulis tentang asas-asas hukum Islam (Mohammedaansche Recht, 1882)
 menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, kajian tentang hukum keluarga dan 
hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892) dan menerjemahkan beberapa 
kitab fiqh berbahasa arab seperti Fath al-Qarib dan Minhaaj ath-Thalibin ke dalam bahasa Prancis.[16]
Melihat
 akomodasi Van den Berg yang cukup luas terhadap penerapan hukum Islam 
di daerah jajahannya, penguasa kolonial Belanda mulai berpikir ulang dan
 mencoba mengevaluasi kembali kebijakan tersebut. Keputusan tersebut 
diambil karena upaya mengakomodasi hukum Islam menjadi hukum masyarakat 
di anggap hanya akan menumbuhsuburkan ideologi dan gerakan yang semakin 
menguatkan kekuatan perlawanan di masyarakat terhadap pemerintah 
Belanda. Terlebih pada waku itu sedang berlangsung pengaruh keislaman 
yang juga cukup kuat dari pihak eksternal yang masuk ke Indonesia.[17]
 Oleh karena itu, untuk memutus segala pengaruh dan timbulnya akibat 
yang merugikan pemerintah Belanda, penasihat pemerintah Belanda yang 
juga ahli hukum Islam, Prof. Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) 
memunculkan kebijakan Islam Policy yang pada intinya hukum 
Islam harus dijauhkan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam dan
 menarik rakyat pribumi agar lebih mendekat dengan tradisi dan budaya 
pemerintah kolonial Belanda dan Eropa lainnya. Kebiijakan tersebut 
akhirnya di rinci oleh Hurgronje menjadi teori Receptie seperti yang tertuang dalam pasal 134 ayat 2 Indische Straaftregeling (IS) dimana hukum Islam hanya dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat.[18]
Dengan
 kebijakan tersebut, bandul eklektisisme hukum nasional Indonesia 
bergerak menuju hukum adat yang mulai menggeser peran hukum Islam 
sebagai sistem hukum yang banyak berlaku di masyarakat disamping hukum 
Belanda. Tidak kurang dari 19 wilayah di Indonesia mulai mengembangkan 
hukum adatnya. Kekuasaan Peradilan Agama mulai dibatasi oleh sebuah 
komisi bentukan pemerintahan kolonial yang dipimpin oleh Bertrand Ter 
Haar Barn (1892-1941). Kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Kalimantan
 Selatan untuk memutus soal-soal kewarisan mulai di tanggalkan dan 
diserahkan ke Landraad.
4. Keberlakuan Hukum Islam di Indonesia
Kalau
 kita melihat kepada hukum-hukum di bidang peribadatan, maka praktis 
hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum 
positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan 
perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan 
sholat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum
 positif. Bahwa sholat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut
 hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi,
 dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad
 misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat 
diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan 
yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan 
hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum 
administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum
 Islam.
Ambillah
 contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan 
kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat Jum’at 
misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya 
peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah haji, 
administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini, berkaitan 
erat dengan fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada 
rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara
 kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan dengan urusan 
kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor Soepomo dalam sidang-sidang 
BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan undang-undang 
dasar negara merdeka.
Adapun
 hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan 
kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi 
rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. 
Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang 
sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. 
Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara
 langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. 
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan 
bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya 
masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan 
perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum 
Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya 
di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Hasil
 telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik 
kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa 
yang berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh 
wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas 
pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum Adat akan 
membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan menyatukan 
mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka 
kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan 
Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang 
tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku 
tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum 
Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat 
mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka 
masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang 
dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.
Hukum
 Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu 
telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah 
hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang 
disebut Profesor Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori 
ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan
 Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum 
Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu 
tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka.
Karena
 merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial 
Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam 
menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus 
berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya,
 seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau 
kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita 
merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” 
sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat
 mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante
 maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai
 aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam 
konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan 
mayoritas.[19]
Patut
 kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17
 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah 
“penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya 
atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan 
Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan negara dan 
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang 
baru menurut undang-undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud 
dengan peraturan yang ada dan masih langsung berlaku itu, tidak lain 
ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan peraturan 
Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula 
meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa 
terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.[20]
Setelah
 kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para 
penyelenggara negara untuk membangun hukum sendiri yang bersifat 
nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara yang baru. Keinginan itu
 berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik di negara 
kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur 
pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan 
administrasi negara tumbuh pesat.
Di
 manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh 
agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu 
terasa. Konstitusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah 
negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak 
mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah 
pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum 
Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini
 bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di 
negara itu.[21]
 Dengan berbagai penjelasan tersebut, perlu diingatkan kembali bahwa 
hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka
 negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata 
bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus 
mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi
 negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
5. Syariat Islam di Berbagai Daerah
Sejak
 awal sejarah Indonesia, perkembangan penerapan syariat Islam di 
Indonesia telah dimulai dengan keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di 
Nusantara di masa lampau. Upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, 
termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja
 dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja
 dan para sultan.
Kita
 masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan 
Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, 
Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, 
Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan 
Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini
 telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai 
kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah
 menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan 
hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. 
Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol 
betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.
Pelaksanaan
 hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang 
diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu 
tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran 
dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, 
para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena 
daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang 
menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai penjuru 
Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya 
masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors”
 yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina 
Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.[22]
Berbagai
 suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di 
masa kemudian. Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul 
antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab 
itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa 
dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang 
mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai 
peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat 
yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar 
diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka 
memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas 
yang baru.[23]
Pada
 awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota 
Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium 
Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia 
itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan 
akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang terkenal itu.
Compendium
 Freijer itu sendiri ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu 
tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, 
bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata 
lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi 
juga menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang 
ternyata dalam praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai 
bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium 
itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di 
kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.
Di
 pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam
 itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok
 pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di 
daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan 
Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah 
keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng
 di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada 
penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam 
menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di 
bidang keluarga dan perdata lainnya.
Di
 Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan
 hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun 
di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan 
dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat 
juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai 
harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua 
pendukung hukum itu.
Fenomena
 benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di 
Jawa dan Minangkabau. Benturan itu terjadi hampir merata di 
daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan 
secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang 
berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan 
hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju 
harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda 
mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. 
Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, 
yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai 
menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, 
termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.
6. Syari’at Islam Dalam Era Otonomi Daerah
Genderang
 otonomi daerah merupakan pintu masuk utama munculnya seluruh peraturan 
lokal sebagai wujud dari titah regulasi baik yang kewenangannya bersifat
 atributif (melekat) maupun yang bersifat delegatif (turunan). Dari 
peluang transfer kewenangan ini, arus balik sentralisasi kekuasaan 
antara lain dimaknai dengan membuka seluas mungkin upaya memandirikan 
daerah dengan segenap kemunculan kebijakan lokal dalam kondisi yang 
serba transisi dan terbatas. Dengan segala keterbatasan tersebut 
lahirlah berbagai produk hukum daerah berupa peraturan dan keputusan 
pejabat daerah. 
Tidak
 ada catatan yang rinci untuk memastikan kapan perda-perda yang 
bernuansa syariat itu muncul di Indonesia. Namun melihat perkembangannya
 Perda syari’ah mulai tumbuh ketika perdebatan panjang tentang perubahan
 UUD 1945 1999-2002 yang juga terjadi perdebatan tentang berlakunya 
syari’at islam di Indonesia. Kemudian diterapkan di daerah khusus NAD. 
Hal ini menjadi lebih semarak dengan seiring menguatnya dorongan atas 
pelaksanaan otonomi daerah di awal-awal 1999. Ditahun-tahun tersebut, 
bisa dikatakan sebagai era dimana pemerintahan daerah seperti burung 
yang mendapati kebebasannya hingga ia bisa melakukan apapun yang 
dibutuhkan dan disukainya. Dalam konteks kebebasan tersebut, pemerintah 
lokal tidak hanya mulai membenahi diri secara struktural tapi juga 
melengkapi birokrasinya dengan berbagai produk peraturan daerah.
Seperti
 juga berbagai isu dan permasalahan yang terus datang timbul tenggelam, 
wacana perda bernuansa syariat menggelinding begitu saja ditengah 
keramaian perdebatan nasionalisme dan tuduhan terorisme terhadap umat 
Islam. Walau dengan definisi dan batasan yang tidak begitu jelas 
mengenai apa sesungguhnya indikator yang tepat bagi penamaan sebuah 
kebijakan syariat Islam, perda-perda tersebut pada akhirnya lebih 
dikenal sebagai perda syariat. Karena, sekalipun tak disebut secara 
eksplisit sebagai Perda Syariat Islam, tak bisa disangkal bahwa dalam 
kebijakan daerah itu ada ideologi keislaman yang hendak ditegakkan 
melalui perda tersebut. Yaitu, menegakan kebenaran, memberantas 
kezaliman dengan asumsi-asumsi keislaman. Tentu saja itu sebuah tujuan 
yang mulia.
6. Penutup
Terlepas
 dari sekeranjang kontroversi tersebut, perlu kiranya kita ketahui 
bersama bahwa syariah mau tidak mau memang telah menjadi sebuah system 
hukum yang amat mempengaruhi khazanah hukum secara global. Walaupun 
secara lokal, naik turunnya hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kondisi 
politik dan kebijakan penguasa, tapi seiring dengan arus deras tren 
global, sistem yang dibawa nabi Muhammad 15 abad yang lalu mulai dilirik
 dan dikembangkan sebagai satu solusi oleh masyarakat dan menjadi kajian
 dan perdebatan utama forum hukum dunia. Karena itu para sarjana barat 
seperti Matthew Lippman, Sean Mc Coville dan Mordechai Yerushalmi 
kembali mengakui bahwa Hukum Islam kini telah menjadi salah satu dari 
tiga tradisi hukum yang utama terkait dengan dunia hukum dan filosofi 
dari mayoritas bangsa-bangsa di dunia.[24]
Harus
 diakui sebagai sebuah sistem hukum yang sangat komprehensif, subtansi 
doktrin hukum yang bersumber khususnya dari Al-Qur’an memang amat sulit 
untuk dibantah ke universalannya. Namun sangat sering ditemukan bahwa 
problem syariat selalu terletak pada penafsiran, pengelolaan dan 
penerapannya yang banyak dilakukan oleh Negara dan birokrasi 
pemerintahan. Sebagai sebuah sumber dari kebenaran hukum, 
subtansi-subtansi yang dikandung oleh syariat juga sering mulai memudar 
di mata masyarakat terutama dikalangan yang sejak awal tidak mau 
memahami dan cenderung memberikan stigma negatif terhadap syariat.
Tumbuhnya
 Perda Syari’ah merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji dari 
berbagai sisi, baik sisi politik, budaya, hukum maupun agama. Perda 
syari’at mencuat ketika otonomi luas diberikan kepada daerah dan pada 
saat yang sama dialog dan perdebatan tenetang syari’at islam dalam 
perubahan undang-undang dasar terus menghiasi pemberitaan media. Pada 
sisi lain terdapat perkembangan yang menakjubkan atas kesadaran 
keagamaan yang muncul di seluruh Indonesia seperti sebuah gelambang yang
 terus menarik hati masyarakat muslim Indonesia yang sebelumnya 
mayoritas abangan (sebagaima pengelompokan oleh Geertz). Kesadaran 
inilah nampaknya yang memberikan dorongan kuat bagi pembentukan Perda 
Syariah di Indonesia, walaupun disadari ditemukan banyak sekali 
kelemahan dan kesalahan definisi atas Perda Syari’ah itu, yang ternyata 
sebagian besarnya adalah Perda mengenai ketertiban umum.
Perlu
 ada pemahaman yang benar tentang penyusunan perda yang bersumber dari 
syari’ah ini, termasuk tehnik penyusunan Perda secara umum, sehingga 
tidak menimbulkan salah pengertian dan dianggap keluar dari prinsip 
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya Perda-perda yang bersifat 
khusus di daerah-daerah termasuk Perda yang bersumber dari nilai-lai 
syari’ah, seharusnya dipahami sebagai bentuk penghormatan terhadap 
keragaman daerah di Indonesia sebagai sebuah Negara yang plural, tentu 
dengan memperhatikan kekompakan hirarkis dengan perundang-undangan yang 
ada di atasnya.
Wallahu al’lam bissawab.
[1] Abul A’la Al-Maududi, Islamic Law and Constitution, Karachi: Jama’at al-Islami Publication, 1995, hal.13
[2] Prof. Satjipto Rahardjo menyebut system hukum yang berlaku di Indonesia sebagai system Romawi-
Jerman atau Civil Law System. Prof. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000.
[5] George
 Makdisi, Ph.D, professor emeritus bahasa arab dan kajian Islam pada 
Universitas Pennsylvania. Kuliahnya yang terkenal antara lain “Church, Classical Islam, and University”. Makdisi meraih bachelor’s degree dalam hubungan luar negeri dan master’s degree sejarah dari Universitas Georgetown  Washington, D.C. ia juga mendapatkan docteur es-lettres
 dari Universitas Paris, Sorbonne, dengan konsentrasi bahasa arab dan 
kajian Islam. Aktif berpartisipasi pada berbagai masyarakat profesional,
 Makdisi banyak menerima berbagai scholastic awards termasuk dua kali mengikuti Guggenheim Fellow. Makdisi juga menerima penghargaan prestisius Giorgio Levi Della Vida Award untuk prestasinya dalam melakukan kajian Islam California selama tahun 1993. http://www.loyno.edu/newsandcalendars/loyolatoday/1998/03/makdisi.html
[7] Earl Warren adalah seorang Ketua Mahkamah Agung Amerika (Chief Justice)
 yang selama jabatannya, Mahkamah Agung sering berhadapan dengan 
kasus-kasus kontroversial berkaitan dengan hukum kewarganegaraan dan 
politik ketatanegaraan. Lahir di Los Angeles dan dibesarkan di 
Bakersfield, California dimana ayahnya berprofesi sebagai mekanik kereta
 api. Bakersfield telah menjadi tempat belajar yang berharga bagi 
Warren, ia mengatakan “crime and vice of all kinds countenanced by a corrupt government.”
 Warren menjadi penegak hukum Amerika yang sangat anti-rasisme terutama 
perlakuan orang Amerika terhadap orang asia yang pada waktu itu sering 
terjadi di West Coast. http://www.landmarkcases.org/brown/warren.html 
[8] Prof. Busthanul Arifin, S.H, Hukum Pidana (Islam) dalam Lintasan Sejarah, dalam Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, Hal. 34
[9]
 Dalam soal non hukum, dunia barat menurut Watt Montgomary banyak 
berhutang budi pada para pemikir dan cendikiawan Islam seperti dalam 
bidang sains, teknologi, perdagangan dan disiplin keilmuan lainnya. Watt
 Montgomary, The Influence of Islam on Medieval Europe, Edinburgh,
 Edinburgh University Press, 1987. D. De Santillana secara khusus malah 
menyebut bahwa beberapa system dan institusi dagang seperti perkongsian 
terbatas yang dikembangkan oleh Islam memberikan kontribusi positif bagi
 system hukum dagang barat. Kontribusi tersebut telah memberikan standar
 etika yang luhur bagi pengembangan konsep-konsep dagang yang modern. 
Menurutnya, itulah sebagian kebaikan jasa yang abadi dari hukum Islam 
kepada hukum eropa. D. De Santillana, The Legacy of Islam, Oxford, Oxford University Press, 1931 hal 310.
[10] Untuk mengetahui lebih dalam tentang Code Napoleon bisa dilihat dalam E. A. Arnold, ed. and trans., A Documentary Survey of Napoleonic France, Lanham, MD: University Press of America, 1993, hal. 151-164, dan Laura Mason and Tracey Rizzo, eds., The French Revolution: A Document Collection, (New York: Houghton Mifflin, 1999, hal.340-347.
[11]
 Eklektisisme ialah suatu system yang dibentuk secara kritis dengan 
memilih dari bermacam-macam sumber dan doktrin hukum. Prof. DR. 
Busthanul Arifin, S.H, Prolog buku DR. Qodry Azizy, MA, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta, Gama Media, 2002, hal. viii 
[12] DR. Rifyal Ka’bah, MA, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi, 1999 hal. 122-123
[13] DR. Rifyal Ka’bah, MA, Sejarah Hukum Adat, Bahan Kuliah Magister Hukum UIJ, Jakarta, TT, hal. 2-3
[14] Pidato pengukuhan Prof. Dr. Thohir Luth sebagai guru besar hukum Islam Universitas Brawijaya, Kewarisan Islam, Satu Renungan untuk Orang-orang Beriman, http://www.brawijaya.ac.id/id/8_directory/staf.php?detail=131573967
[15] Drs A. Rahmat Rosyadi, S.H, M.H, H.M. Rais Ahmad, S.H, M.C.L, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2006, hal. 75
[16] Sayuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam), Bina Aksara, Jakarta, 1982 hal.121
[17]
 Mengenai ini, Anthony Reid menjelaskan adanya arus kuat pan-islamisme 
pada waktu itu yang antara lain berhembus dari Turki. Anthony Reid, The Contest of North Sumatra,
 Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1969, hal. 3, 65, 66 dan 109.
 sedangkan istilah PAN-ISLAMISME sendiri diciptakan oleh Sultan Abdul 
Hamid II untuk melawan kekuasaan barat yang akhirnya mendorong 
kekhawatiran kolonialis Belanda dan Inggris pada tanah jajahan mereka di
 Melayu. Snouck Hurgronje menyebut Pan Islamisme ini sebagai tindakan 
yang berbahaya tapi sia-sia, Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje jilid IX, Jakarta: INIS, 1994, hal. 102
[18] Peristiwa
 paling penting yang mengubah pemikiran Snouck adalah ketika ia bertemu 
dengan Habib Abdurrachman Az-Zahir, seorang keturunan Arab yang pernah 
menjadi wakil pemerintahan Aceh, yang “dibeli” Belanda dan dikirim ke 
Mekkah, sehingga mengubah minat Snouck dari sekedar menjadi akademisi 
berlanjut menjadi pejuang kolonial Belanda. Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jeddah JA Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran terhadap orang Aceh.
 Ketika Habib Zahir tak lagi ‘dipakai’ Gubernur Belanda di Nusantara, 
semua naskah penelitian Zahir di serahkan pada Snouck yang saat itu, 1886,
 telah menjadi dosen di Leiden. Snouck seperti mendapat durian runtuh, 
naskah itu kemudian dia berikan pada kantor Menteri Daerah Jajahan 
Belanda (Ministerie van Kolonieën). Snouck bahkan secara berani
 menawarkan diri sebagai tenaga ilmuwan yang akan dapat memberikan 
gambaran lebih lengkap tentang Aceh. Pada 1889, dia menginjakkan kaki di pulau Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam
 di masyarakat pribumi Hindia-Belanda, khususnya Aceh hingga ia menjadi 
orang Belanda yang ahli tentang Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden, dan sampai wafatnya,26 Juni 1936, dia tetap menjadi penasehat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara. http://id.wikipedia.org/wiki/Snouck_Hurgronje. 
[19] Yusril Ihza Mahendra, “Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional di Indonesia,” <http://yusril.ihzamahendra.com/2007/12/05/hukum-islam-dan-pengaruhnya-terhadap-hukum-nasional-indonesia/>, 19 Juni 2008.
[20] Yusril, ibid.
[21] Yusril, ibid.
[22] Yusril, ibid
[23] Yusril, ibid
[24] Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah dalam Konteks Modernitas, Bandung, Asy-Syamil, 2000, hal. 15
 

 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar