F Aktivis 98: 17 Tahun Reformasi, Oligarki Politik Makin Subur - VIP 4LIFE TRANSFER FACTOR

Aktivis 98: 17 Tahun Reformasi, Oligarki Politik Makin Subur

ELVIPS.COM - Mantan Aktivis 98 Ubedilah Badrun menuturkan sejak jatuhnya rezim Orde Baru (Orba) pada masa Presiden ke 2 Soeharto hingga masuk kepada pemerintahan Jokowi-JK, sistem politik Indonesia tidak mampu melahirkan pemerintahan yang efektif.

Bahkan ketika demokrasi semakin liberalistik digelar sejak tahun 2004 melalui pemilu legislatif dan dengan sistem proporsional daftar terbuka serta pemilu presiden secara langsung kita tidak mampu menghasilkan anggota DPR yang berkualitas. Termasuk juga tidak mampu menghasilkan pemerintahan yang efektif sehingga hanya bisa melahirkan rezim yang bertahan dan memelihara oligarki mafia.


"Pemilu dijadikan sebagai arena kontestasi subyektif sekaligus arena transaksional yang membelah dan merusak watak rakyat. Ongkos politik yang besar memicu korupsi politik yang meluas. Kapabilitas sistem politik berada pada posisi kapabilitas yang rendah karena tak kunjung menghadirkan arah kesejahteraan rakyat yang seharusnya makin terang," kata Ubedilah kepada Harian Terbit, Rabu (20/5/2015).

Hal ini disampaikan terkait 17 tahun reformasi pasca tragedi kemanusiaan dan pelanggaran HAM pada 20-21 Mei 1998.


Ubedilah melanjutkan bahwa oligarki politik justru yang tumbuh subur, kelompok elite politik berkuasa lebih terlihat berlomba-lomba untuk mencapai tujuan pragmatisnya. National interest (kepentingan nasional) diabaikan, konstitusi dan undang undang makin dikesampingkan.

"Angka pertumbuhan ekonomi masih terus nangkring diangka 4-5%, angka kemiskinan stagnan dikisaran 14%. Dominasi asing makin kuat hingga mencapai 75%. Utang luar negeri makin terus bertambah hingga mendekati 4.000 Triliun. Kewibawaan negara bergerak menurun," terangnya.


Lebih lanjut Ubedilah menilai bahwa demokrasi saat ini sudah diukur dengan otak-atik angka survei di tengah masyarakat yang gagap, liquid dan kehilangan panduan. Analisis kualitatif diabaikan, kemunafikan politik menjadi tontonan.

"Itulah fakta setelah 17 tahun reformasi, fakta yang bertentangan dengan cita cita reformasi ketika kami dengan akal, keringat, darah dan kematian berjuang meruntuhkan rezim diktator dan korup pada 1998," pungkas Ubedilah yang juga Direktur Puspol Indonesia. (Sumber: Harian Terbit)


Kita dan Tragedi Mei 1998




Tragedi Mei 1998, siapa bisa melupakan ? Tragedi Mei 15 tahun lalu, siapa tidak mengingatnya ? Majalah Asiaweek, pada bulan Mei 1998 itu menurunkan berita utama di sampulnya : “Ten Days that Shook Indonesia”. Berita utama Asiaweek itu ditulis oleh Susan Berfield dan koresponden Asiaweek di Jakarta : Dewi Loveard. Bersama berita gencar yang ditayangkan CNN, tulisan yang rinci di majalah Asiaweek ini menyebar ke mana-mana dan menimbulkan kemarahan di mana-mana, terutama di kalangan etnis Tionghwa. Tragedi Mei 1998, akan tercatat sebagai bagian perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang paling gelap. Menurut Sandyawan, salah satu saksi penting sejarah gelap 15 tahun yang lalu itu, selama kerusuhan 13-14-15 Mei 1998, ada 1.880 orang yang tewas mengenaskan. “Lebih banyak dari jumlah korban perang Diponegoro”, katanya. Sebagian besar korban itu, tewas terbakar dan terpanggang di beberapa pusat perbelanjaan seperti pertokoan Yogya Klender, Ramayanan Jatinegara, Karawaci dsb. Sebagian cukup banyak : meninggal setelah diperkosa dan dianiaya. Banyak yang ditemukan sudah menjadi mayat di jalanan. Kerusuhan Mei, dipacu dari kejadian penembakan mahasiswa di Kampus Trisakti, Jakarta Barat. Kampus Trisakti, kini dijuluki Kampus Reformasi. Empat mahasiswanya tewas tertembak di kepala, tenggorokan dan dada. Empat mahasiswa itu : Elang Mulia Lesmana (kelahiran 1978), Heri Hertanto (kelahiran 1977), Hafidin Royan (kelahiran 1976) dan Hendriawan Sie (kelahiran 1975) dinyatakan resmi sebagai Pahlawan Reformasi. Sementara, ribuan korban yang meninggal mengenaskan itu dianggap apa ? Entahlah ! Pahlawan kekonyolan ? Tega kita menyebut begitu ?



Kerusuhan Mei 1998 itu, menggoreskan luka yang amat dalam bagi bangsa kita. Ada luka sejarah yang tak akan pernah bisa disembuhkan ! Dalang dan “otak” tragedi Mei 98 yang membuat bangsa ini sangat ternista, tidak pernah terungkap tuntas sampai detik ini. Sebagian besar orang yakin, beberapa “polisi dan tentara kroco” yang sudah divonis karena kerusuhan itu, bukan otak pelakunya. Meski sudah 15 tahun berlalu, penyelesaian kasus ini tak kunjung selesai. Maklum pelaku dan saksi sejarah tragedi Mei masih ada, dan bahkan diduga masih menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan. Laporan investigasi yang sudah disusun oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), oleh Pemerintah tidak pernah ditindaklanjuti dengan proses hukum. Padahal ada sejumlah nama-nama kredibel dalam tim itu : Marzuki Darusman, SH ; Mayjen Pol Drs. Marwan Paris, MBA ; K.H. Dr. Said Aqiel Siradj ; Dr. Rosita Sofyan Noer, MA ; Zulkarnain Yunus, SH ; Asmara Nababan, SH ; Marsma TNI Sri Hardjo, SE ; Drs. Bambang W. Soeharto ; Prof. Dr. Saparinah Sadli ; Mayjen TNI Syamsu D, SH ; Mayjen Pol Drs. Da'i Bachtiar ; Mayjen TNI Abdul Ghani, SH ; I Made Gelgel, SH ; Mayjen TNI Dunidja D ; I. Sandyawan Sumardi, SJ ; Nursyahbani Katjasungkana, SH ; Abdul Hakim Garuda, SH, LLM dan Bambang Widjojanto, SH, yang sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.



Dalam tulisannya di harian Kompas, pada 21 Mei 2013, tepat 15 tahun setelah pak Harto lengser, Peneliti Senior CSIS J.Kristiadi mengatakan bahwa tragedi Mei itu adalah saat ketika “Semar menggugat”. Tokoh Semar dalam dunia pewayangan, adalah tokoh dewa yang merakyat. Menurut Kristiadi, Semar berani menggugat Sang Hyang Wenang, Dewa penguasa jagad raya, karena Bathara Guru (pimpinan para dewa) berbuat sewenang-wenang kepada rakyat. Kata Kristiadi, peristiwa Mei 98, adalah puncak perjuangan seluruh komponen bangsa untuk menghentikan penguasa monolit dan monopoli kekuasaan. Penderitaan, darah, pembakaran, perkosaan, penembakan, pembunuhan, penjarahan, adalah harga yang harus dibayar. Betapa mahalnya harga sebuah perubahan itu ! Dan betapa naifnya kita, kalau harga setinggi itu begitu saja kita lupakan. Sesungguhnya, benarlah pesan kenabian Milan Kundera, penulis dan sastrawan dari Republik Czech, bahwa perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa. (The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting).


Belarasa kecil dari Wisma Adisoetjipto



Kerusuhan Mei 98 bisa dipandang sebagai puncak gunung es dari begitu besar masalah yang menumpuk dan melanda bangsa kita. Krisis multi dimensi menerpa Indonesia sejak awal tahun 1997. Mulanya terjadi krisis moneter (krismon) yang melanda dunia. Di Asia, yang pertama dihantam krismon adalah Thailand. Mata uang bath jatuh terpuruk. Effek domino krisis moneter adalah krisis ekonomi dan krisis perbankan. Di Indonesia, dollar menembus angka 16 ribu. Kita masuk dalam “karantina” IMF. mBak Tutut, puteri sulung pak Harto yang ditunjuk sebagai Menteri Sosial, mengadakan macam-macam kegiatan menggalang dana. Tentu saja kegiatan itu dilaksanakan dengan mengatasnamakan penyelamatan negara dari krismon. Semua pimpinan organisasi keagamaan termasuk KWI, dipanggil mbak Tutut untuk membantu acara pengumpulan dana dalam bentuk emas. MungkinmBak Tutut berfikir, kalau pimpinannya sudah dipegang, umatnya pasti akan ikut. Mengapa emas, karena katanya emas tidak pernah kena krisis. Romo J.Sunarko SJ yang waktu itu menjadi Ekonom KWI, dianggap mewakili gereja Katolik pada acara “nyumbang” emas itu. Dengan polosnya, di antara sorotan kamera video dan foto para wartawan, Romo Narko mengatakan begini : “mBak Tutut, seperti para hadirin di sini, umat Gereja kami sangat bermurah hati dan saat ini sedang bekerja keras membantu saudara-saudara kita yang kena dampak krismon ini. Saking sibuknya rekan-rekan kami itu membantu saudara-saudaranya yang menderita, sampai-sampai mereka nggak sempat menitipkan emasnya kepada saya”. Pidato Romo Narko yang sangat cerdas !

Apakah pada waktu itu pemerintah jadi bingung dan linglung ? Saya tidak tahu. Yang pasti, kebutuhan sehari-hari makin banyak yang lenyap dari pasaran. Seperti yang dikatakan Romo Narko yang kini menjadi Uskup Purwokerto, pada krismon tahun 1997 itu, umat Katolik kita memang tidak berpangku tangan. Hampir semua paroki, biara, bruderan dan susteran di seluruh KAJ, tiba-tiba menjadi posko bantuan dan posko pengumpulan sembako. Rumah kami di Wisma Adisoetjipto, wisma Mahasiswa KAJ di Cipinang Rawamangun Jakarta Timur, juga menjadi posko tanggap darurat krismon 97. Umat dan keluarga yang masih berkecukupan, khususnya rekan-rekan dari Persekutuan Doa Usahawan Katolik Indonesia (Perduki), tanpa diminta langsung datang ke Wisma Adisoetjipto dan memberikan bantuan. Bantuan yang paling sering kami mintakan waktu itu adalah susu untuk anak-anak. Harga susu di jaman krismon itu melangit dan tak terbeli. Kasihan anak-anak kita. Selain menjadi posko sembako, rumah kami juga menjadi tempat mahasiswa mangkal. Selain membantu menyebar bantuan sembako, para mahasiswa itu juga mengadakan pelbagai pertemuan. Mereka membahas keadaan yang semakin buruk akibat krisis ekonomi. Tentu saja, mereka juga membicarakan kemungkinan unjuk rasa sebagai ungkapan kemuakan pada tata kelola negara yang sudah semakin memburuk dan membuat semua terpuruk.



Krisis ekokomi tahun 1997 itu juga erat kaitannya dengan krisis politik, termasuk politik “kambing hitam” bagi PRD (Partai Rayat Demokratik) pimpinan Budiman Sujatmiko dan PDIP-nya Megawati. Dalam sebuah Konggres yang direkayasa di Medan, dengan konyolnya pemerintah membentuk PDIP tandingan dan mengharamkan PDIP yang resmi pimpinan Megawati. Puncaknya, terjadilah peristiwa 27 Juli 1997. Semenjak peristiwa “penyerangan dan pembantaian” 27 Juli di markas PDI Perjuangan Jalan Diponegoro itu, rumah kami di Wisma Adisoetjipto sering menerima teror gelap dan dimata-matai. Tiba-tiba saja, ada warung rokok di depan rumah kami. Lucu dan aneh, karena ia satu-satunya warung rokok di pinggir jalan itu. Selain menjadi markas mahasiswa lintas Universitas dan lintas agama, kami dimata-matai, mungkin karena menjelang penyerangan itu, saya sempat misa di kantor PDIP. Saya ingat, yang menjadi dirigen pada misa itu adalah Jacob Nuwawea. Pada homili di misa itu, saya mengutip kata-kata Mgr.Leo Soekoto : “kepada yang baik dan benar kita harus taat. Kepada yang kurang baik dan kurang benar, ya kita jangan terlalu taat”. Sekitar 100 orang warga PDI dan simpatisannya yang ikut misa malam itu, spontan bertepuk tangan mendengar kutipan yang mereka anggap mengena. Misa berakhir sekitar jam 10 malam. Beberapa jam kemudian, markas PDIP itu diserang. Beberapa orang yang ikut misa, konon ada yang ikut tewas. Untuk mereka, misa malam itu benar-benar menjadi “malam perjamuan terakhir”. Dua hari sesudah penyerangan, saya tiba-tiba dicari orang yang mengaku dari kepolisian. Mereka membawa sekarung clurit, pisau dan parang. Saya diminta menyimpan benda-benda itu. Saya melihat ada beberapa celurit dan parang  yang masih berbau anyir, karena tertempel darah yang sudah mengering. Katanya itu titipan dari rekan-rekan PDIP yang pada lari. Kalau sekarung senjata itu saya terima, mungkin saya akan langsung diciduk karena dituduh menyembunyikan buron dan senjatanya.

Bahwa tempat-tempat berkumpul diawasi oleh intel (sebutan kami : Pentium), waktu itu adalah hal yang sangat biasa. Jaman itu, mahasiswa identik dengan kelompok yang dianggap anti pemerintah. Jadi harus diawasi. Dari Sandyawan dan Romo Koko MSF, belakangan kami tahu bahwa “Team Mawar Kopassus” sedang gencar menculik aktivis-aktivis mahasiswa. Di bilangan Jakarta Timur, selain Wisma Mahasiswa Adi Soetjipto tempat kami tinggal, komunitas Utan Kayu tempatnya mas GM (Gunawan Muhammad), juga diincar intel. Seru juga waktu itu kami menemani Sandyawan main kucing-kucingan dalam kasus diburunya Budiman Sujatmiko. Seru juga mengikuti sidang-sidangnya Sandyawan karena dituduh menyembunyikan Budiman Sujatmiko di rumah kakak Sandyawan di Bekasi. Apapun yang kami buat, sebenarnya tidak penting untuk dikisahkan. Yang jauh lebih penting untuk diingat, adalah kenyataan bahwa tragedi Mei 98 telah memperkuat “ikatan batin” kami. Tiba-tiba kami menyadari betapa luasnya pertemanan kami dan betapa dahsyatnya solidaritas dan persatuan di antara kami. Kegiatan berbela rasa - yang menjadi tema APP tahun ini – pernah terjalin begitu erat di antara kami : imam, umat, awam, biarawan-biarawati, aktivis, tokoh, rakyat biasa, mahasiswa, pelajar, bapak-ibu keluarga, kaya-miskin, tua-muda. Semua merasa satu. Semua merasa dipersatukan dalam belarasa yang sama terhadap korban. Dan korban yang “berjatuhan” karena krismon, karena penyerangan 27 Juli dan karena tragedi Mei 98,  sungguh luar biasa banyaknya. Kami rasanya kehabisan waktu, kehabisan daya, dan kehabisan pikiran untuk mengurusnya.

Karena kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan itu, para imam yang biasanya asyik dengan dirinya sendiri atau kegiatan ordonya, tiba-tiba menjadi satu. Meja makan Wisma Adisoetjipto itu menjadi saksi persahabatan imam lintas ordo. Di meja itu, sambil makan peyek kiriman bu Mangku ibunya Krismanto dari Mertoyudan, atau menyantap mendoan bikinan mas Parno penjaga rumah, kami ngobrol seru sampai lewat tengah malam. Muji Sutrisno dan Sandyawan yang Jesuit, saya dan almarhum Krismanto yang imam diosesan, Koko dan Purnomo yang MSF, sedikitpun tidak merasakan kotak-kotak dan sekat-sekat. Karena Krismon dan Tragedi Mei 1998 itu juga, kami mengenal Komjen Gories Mere yang waktu itu masih jadi Kapolres Jakarta Timur dan pangkatnya masih Kolonel. Karena peristiwa Mei 98, kami juga lalu kenal Hercules,  Preman ngetop itu, yang kalau ketemu pastor selalu mencium tangan sambil berseru : Padre ! Tidak ada pembedaan ordo, konggregasi, golongan, suku, agama. Tidak ada perbedaan kaya dan miskin, jendral dan preman. Semua satu : keluarga besar lintas kelompok. Topik : “ibadah di depan altar yang harus dibawa ke pasar” yang sering kami diskusikan, tiba-tiba terasa populer dan relevan. Rumah kami di Cipinang itu, sungguh kami rasakan sebagai rumah keluarga lintas kelompok yang erat bersaudara, karena erat berbela rasa.

Petrus Bima Anugerah, Wiji Thukul dan teman-teman yang hilang.



Kalau kami mengingat tragedi Mei 15 tahun lalu, kami tidak mungkin melepaskan ingatan itu dari rekan-rekan mahasiswa dan aktivis yang hilang. Menurut Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Mugiyanto, dalam perbincangan dengan Kompas.com, kasus penculikan aktivis yang terjadi pada tahun 1997-1998 itu tak pernah ada jawabnya. Menurut catatan Ikohi, korban penculikan itu sbb : 1 orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang. Dari 23 orang yang dihilangkan paksa, 13 orang belum diketahui nasibnya hingga kini. Data ini juga diakui oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). 13 orang yang hilang lenyap dan belum kembali sampai sekarang ini adalah :  Petrus Bima Anugerah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.

Mugiyanto sendiri tak akan pernah lupa tatkala dirinya bersama dua rekannya, Nezar Patria dan Aan Rusdianto, diculik Tim Mawar Kopassus pada tanggal 12-13 Maret 1998. Mugi, Nezar, dan Aan beruntung. Mereka dilepas, meski mengalami sejumlah penyiksaan. Adalah mendiang Munir, pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), yang menggagas pertalian keluarga orang-orang hilang ini. Tahun 1998, saat sejumlah aktivis diketahui hilang, Munir bersama sejumlah aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengupayakan proses hukum untuk membebaskan sembilan aktivis, di antaranya Mugiyanto sendiri, Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, dan Andi Arief. Sementara, aktivis lainnya masih dalam pencarian keluarga bersama Kontras. “Dalam proses itu, keluarga korban sering bertemu. Mereka berasal dari beberapa daerah, yaitu Solo, Bangka, Probolinggo, Jepara, dan banyak lagi. Setiap ada advokasi, mereka berkumpul di kantor Kontras. Ya sudah, dari situlah muncul inisiatif dari keluarga para korban ini untuk membentuk semacam paguyuban. Saya tidak bersama mereka ketika mereka secara spontan mendirikan Ikohi,” ungkap Mugiyanto. Di awal berdirinya, yang menjadi ketua adalah Raharjo Utomo, orangtua Petrus Bima Anugerah, salah seorang korban yang hilang sampai hari ini. Paguyuban yang mulanya hanya wadah berkumpul para keluarga untuk berbagi cerita dan saling menguatkan, kini bertransformasi menjadi organisasi yang tak lelah berjuang mencari 13 orang yang belum kembali. Mugiyanto menyatakan, ia bersama para orangtua korban bertekad menjadi pelaku perjuangan, bukan korban yang pasif. ”Korban harus menjadi pelaku perjuangan, bukan obyek pasif yang berdiri di belakang dan berserah pada lembaga HAM. Tidak seperti itu,” kata Mugiyanto tegas.

Saya sendiri tidak mengenal mereka yang hilang itu. Hanya sempat ngobrol dengan Pius Lustrilanang ketika ia kami undang ke Senayan pada misa bulan September 1998. Saya hanya sekilas kenalan dengan Petrus Bima Anugerah, yang waktu itu datang ke Wisma Adisoetjipto dan Pastoran Atma Jaya dengan sobat saya Romo Koko MSF, karikaturis majalah Hidup itu. Saya tidak mengira, hari itu adalah hari terakhir saya melihat Bima. Yang saya ingat, beberapa minggu sebelum meletus kerusuhan Mei 1998, Koko membawa secarik kertas berisi puisinya Wiji Thukul, seniman Solo yang juga ditangkap dan disiksa. “Jarene Wiji Thukul, naliko disiksa ndase dijedorke tembok, driji tangane diplintir potelot, manuke disetrum, awake diuyuhi barang !” Saya miris mendengar cerita Koko ini. Sepulang dari Komunitas Utan Kayu, Koko yang memang rajin nyambangi mas GM itu membawa puisinya Wiji Thukul. Saya lihat, ada 2 puisi Wiji Thukul yang tertulis di keras HVS yang agak lusuh itu :

PERINGATAN

Jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata : lawan !

SAJAK SUARA

Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakan!

Sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Imune Revolution

Tentang Transfer Factor