ELVIPS.COM - Presiden Rusia Vladimir Putin tahun lalu pernah mengungkapkan permainan kotor Amerika Serikat di Timur Tengah terkait konflik Suriah.
"Memang selalu sulit untuk bermain dua kaki: di satu sisi bilang memerangi teroris tapi di sisi lain ingin meletakkan pion mereka di papan catur Timur Tengah untuk mencapai kepentingan," kata Putin waktu itu.
Seperti diungkap dari situs Global Research, akhir tahun lalu, Amerika Serikat menginginkan pergantian rezim di Suriah sebagai agenda besar mereka di Timur Tengah. Sejak 2014 AS menyatakan terlibat dalam perang melawan teroris di Irak dan Suriah. Beberapa tahun sebelumnya AS sudah mendukung kelompok oposisi bersenjata yang ingin menggulingkan rezim Basyar al-Assad. Negara Adikuasa itu beralasan mereka ingin melindungi rakyat sipil dari kekejaman rezim pemerintah Suriah.
Yang terjadi sebenarnya adalah Washington dan sekutu mereka di Timur Tengah menciptakan kelompok teroris macam ISIS untuk menggulingkan rezim yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka.
AS merangkul Arab Saudi sebagai sekutu untuk menggunakan isu sektarian dengan maksud membuat adu domba antara kelompok muslim Sunni dan Syiah guna mencapai tujuan di Timur Tengah.
Dengan cara keji semacam itu yang sejauh ini terbukti berjalan, bukan mustahil rasanya AS juga memakai cara yang sama di kawasan lain, seperti di Indonesia misalnya.
Masalahnya bukanlah soal perbedaan Sunni-Syiah tapi pihak yang membuat Sunni-Syiah itu bermusuhan karena perbedaan.
Amerika mendanai dan mempersenjatai apa yang mereka sebut teroris moderat sebagai upaya perlawanan terhadap rezim yang berdaulat. AS mengajak Saudi, Qatar, Israel, Turki untuk mendanai dan memasok senjata kepada kelompok pemberontak buat menggulingkan pemerintahan berdaulat.
Sejumlah pentolan ISIS pernah ditahan dalam penjara AS. Militan asal Afganistan yang merekrut jihadis untuk ISIS, Abdul Rahim Muslim Dost, pernah mendekam tiga tahun di penjara Guantanamo. Pemimpin ISIS Ibrahim al-Badri alias Abu Bakar al-Baghdadi pernah ditahan selama satu-dua tahun di Kamp Bucca di Irak. Ketika Baghdadi dibebaskan pada 2006, pemerintahan Bush di AS mengumumkan rencana pembentukan "Timur Tengah Baru". Agenda yang memasukkan adu domba sektarian sebagai bagian dari proses menuju pembentukan Timur Tengah Baru.
Pada 2012 intelijen AS melaporkan dua fakta penting tentang konflik di Suriah. Pertama, para pemberontak di Suriah berasal dari kelompok Al Qaidah dan kedua, isu sektarian yang dikampanyekan oleh para pemberontak itu sesuai dengan kepentingan AS dan sekutunya.
Pada 2012 AS juga membiarkan pengiriman senjata dari Benghazi di Libya kepada kelompok pemberontak Al Qaidah di Suriah. Tak kurang dari 500 senapan sniper, 100 peluncur roket, 400 roket, senjata kaliber 125 milimeter dan 155 milimeter dikirimkan lewat kapal ke Suriah melalui pelabuhan Banias dan Borj Islam.
Menurut mantan Kepala Badan Intelijen Pertahanan AS (DIA) Michael Flynn, Presiden Barack Obama sengaja membuat keputusan untuk mendukung Al Qaidah, Ikhwanul Muslimin dan kelompok jihadis lainnya. Hal ini sesuai dan menguatkan kebenaran motif agenda AS di Timur Tengah dari mulai kemunculan konflik Suriah dan rencana pembentukan Timur Tengah Baru era Bush. Washington diam-diam menyetujui mempersenjatai kelompok pemberontak Al Qaidah di Suriah karena melihat hal itu ada keuntungannya.
Pernyataan paling meyakinkan soal dukungan AS kepada kelompok teroris berasal dari sejumlah pejabat Negeri Paman Sam sendiri. Mereka adalah Wakil Presiden Joe Biden, Kepala Komite Pasukan Bersenjata AS, dan panglima militer AS Martin Dempsey.
Pada September 2014 di depan kongres, Dempsey mengatakan dia tahu negara-negara sekutu Arab akan bersedia mendanai ISIS. Senator Lindsey Graham juga mengatakan, "Mereka mau mendanai karena Pasukan Pembebasan Suriah (FSA), kelompok oposisi bersenjata di Suriah, tak mampu menggulingkan Basyar al-Assad.
Bulan berikutnya Wakil Presiden Joe Biden menyatakan Turki, Qatar, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi sepakat ingin menjatuhkan Assad. Mereka tak tanggung-tanggung menggelontorkan uang jutaan dolar dan mengirimkan ribuan serta berton-ton senjata kepada siapa pun yang mau melawan Assad, termasuk kelompok Jabhat Nusra dan para jihadis yang datang dari berbagai negara yang bergabung dengan ISIS.
Hubungan Washington dengan Saudi di Timur Tengah terjadi sejak 1950-an ketika Perdana Menteri Inggris Winston Churchill memperkenalkan Raja Saudi kepada Presiden Eisenhower. Belakangan Jenderal Inggris Jonathan Shaw mengakui peran Saudi bagi perkembangan ideologi ekstremis.
"Ini adalah bom waktu dengan selubung pendidikan. Paham salafi Wahabisme kini merongrong dunia dan ini semua disokong oleh dana Saudi dan Qatar," kata dia.
Pada 2013 AS secara terbuka mengakui melatih dan mempersenjatai para pemberontak yang kemudian juga termasuk Jabhat Nusra dan ISIS. Pemberontak FSA yang didukung AS misalnya, berperang bersama ISIS melawan pasukan Suriah selama beberapa bulan pada 2013 untuk merebut pangkalan udara Menagh dekat Aleppo. Salah satu komandan ISIS dalam operasi itu adalah warga Chechnya Abu Umar al Shisani, sosok yang pernah menerima pelatihan militer dari AS sebagai bagian dari pasukan elit Georgia pada 2006. Dia terus mendapat dukungan dari AS pada 2013 lewat FSA.
Belakangan meredupnya kekuatan FSA dan jalinan kerjasama baru antara
empat warga asing yang bekerja sebagai penasihat militer bagi militan ISIS. Tiga warga asing itu adalah orang Amerika dan satu lagi Israel.
Serangkaian bukti dukungan AS terhadap ISIS itulah yang membuat Wakil Menteri Luar Negeri Suriah Faisal Mikdad mengatakan perang AS melawan ISIS hanyalah kosmetik belaka. Teorinya AS menyerang ISIS tapi di lapangan justru membantu dan melindungi. Tujuan sebenarnya Negeri Paman Sam dan sekutunya adalah menjatuhkan rezim Assad lewat tangan kelompok pemberontak dan ekstremis macam ISIS dan Jabhat Nusra. Strategi itu dilakukan dengan menyebar isu konflik sektarian Sunni-Syiah.
Ketika Rusia memutuskan terlibat dalam konflik Suriah pada September tahun lalu mereka menyokong militer Suriah dengan bantuan serangan udara. Sasaran Rusia adalah kelompok oposisi dan pemberontak, termasuk ISIS. Hal itu menjelaskan mengapa AS terbukti menolak kerja sama dengan Rusia membantu militer Suriah memerangi kelompok militan ISIS. Kalau memang mereka ingin menumpas ISIS, mengapa tidak bekerja sama dengan Rusia dan militer Suriah menghabisi kelompok militan itu?
Tak lama setelah Rusia terlibat, Washington dan media Barat lantas melaporkan beritaserangan udara Rusia menewaskan warga sipil.
Dari uraian dan bukti-bukti yang dijabarkan di atas, bisa ditarik beberapa kesimpulan:
1. AS sudah merencanakan pergantian rezim di Timur Tengah, bekerja sama dengan Saudi menggunakan isu sektarian.
2. AS secara langsung mengongkosi dan mempersenjatai kelompok teroris buat melawan rezim Suriah. Begitu pula Saudi, Qatar, Israel, Turki, mereka memberi bantuan dana senjata, perawatan medis bagi kelompok pemberontak.
3. Kelompok militan Jabhat Nusra dan ISIS aktif merekrut anggota dari berbagai negara membuktikan mereka yang menganut paham Sunni di Timur Tengah itu tidak anti negara Barat.
4. Turki, negara anggota NATO, menjadi lokasi transit bagi berbagai macam jihadis yang ingin bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak.
5. Ada sejumlah pengakuan dari pejabat senior Irak yang mengatakan persenjataan asal AS dikirimkan langsung kepada ISIS.
6. AS bermain 'dua kaki' di Suriah dan Irak menggunakan tameng 'penyangkalan' untuk memelihara 'perang melawan terorisme' selama mungkin.
posted from Bloggeroid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar