ELVIPS.COM - Akhir-akhir ini banyak berita tentang memanasnya hubungan Indonesia dan China pasca insiden di laut Natuna.
Ceritanya, kapal pencuri ikan Kway Fey sempat menolak dihentikan. Lalu kapal KP Hiu milik Indonesia terpaksa melepas tembakan dan menabrak Kway Fey. Delapan orang awaknya diamankan dan kapal Kway Fey diarak menuju daratan Indonesia.
Namun tak lama kemudian kapal Coast Guard China datang dan menabrak badan kapal Kway Fey sehingga kapal tersebut gagal diseret ke daratan Indonesia. KP Hiu sempat menghubungi via radio, namun tidak ada jawaban. Jadilah kapal Kway Fey gagal dibawa ke Indonesia meski awak kapalnya yang 8 orang sudah ditangkap.
Atas insiden ini, Menteri Susi mengatakan China tidak mau kapalnya ditenggelamkan lagi. Karena sebelumnya Susi sudah menenggelamka 41 kapal pada Mei 2015 lalu yang diantaranya adalah kapal China.
Sementara Menlu Retno langsung memanggil dubes China dan menyatakan protes keras. “Saya sampaikan penekanan bahwa indonesia bukan merupakan claimant state di Laut China Selatan,” kata Retno.
Setelah pertemuan tersebut, dubes China siap berunding jika kembali terjadi konflik. “Untuk merespon segala jenis sengketa maritim, pemerintah China siap bekerja dengan pemerintah Indonesia untuk menuntaskannya melalui jalur negosiasi dan dialog,” kata Weide.
“Kami meminta para nelayan itu dibebaskan oleh pemerintah Indonesia. Saya menekankan bahwa pemerintah China mengharapkan pihak Indonesia dapat menyikapi kejadian ini dengan tetap menjaga hubungan bilateral yang baik antara kedua negara,” kata Weide.
Sementara Bu Susi selain sepakat dengan Menlu Retno bahwa Indonesia tidak terlibat konflik lau China selatan, beliau meminta China menyerahkan Kway Fey kepada Indonesia.
Kedaulatan Laut Indonesia di Tangan Emak-emak
Cerita ini menarik. Karena tentu bukan pertama kalinya Bu Susi membuat migren Menlu negara lain. 2015 lalu koran Malaysia memuat berita tentang betapa arogannya Bu Susi dan pemerintahan Presiden Jokowi karena menenggelamkan kapal nelayan mereka. Namun beruntung banyak warga Malaysia lebih suka dengan sosok Jokowi, sehingga opini publik untuk membuat konflik gagal diulang. Malaysia tak bisa layangkan protes apa-apa.
Namun kemudian mereka memprovokasi melanggar perairan Indonesia saat tidak ada pesawat tempur kita di sana.
“Jika pesawat kita ada di sana, mereka tak mau melakukan itu. Namun jika mereka tahu tak ada pesawat kita di Tarakan, mereka masuk. Kalau kita kejar dari Jawa, mereka keburu hilang,” ujar Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayor Jenderal Fuad Basya.
Hingga akhirnya TNI menggelar operasi sakti di sekitar blok ambalat dengan meletakkan 3 kapal perang dan 5 pesawat tempur.
Selain Malaysia, Thailand juga protes keras karena kapalnya dihancurkan. Malah dalam koran Bangkok Post mereka menyindir Indonesia yang selama ini tidak mampu menjaga kedaulatan lautnya, lalu sekarang melakukan cara kasar dengan mengengelamkan kapal mereka. Padahal ada ribuan kapal asing yang beroperasi di laut Indonesia selama ini.
Berita tersebut dimuat desember 2014, bersamaan dengan koran Malaysia. Hal yang mungkin mereka lupa adalah, Indonesia baru saja memiliki pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi.
Vietnam juga sama, mereka memprotes keras karena Indonesia berani mengebom kapal mereka.
Dari dalam Indonesia sebenarnya tak kalah banyak yang protes dan tidak setuju karena dapat mengganggu hubungan diplomatik negara ASEAN. Karena dulu SBY bahkan menegur langsung pembakaran kapal asing ilegal. Namin di lain kesempatan Jenderal Moeldoko hanya menjawab bahwa penenggelaman kapal atas instruksi langsung dari Presiden Jokowi yang kemudian diteruskan ke Menteri Susi.
Beberapa hari lalu sebelum terjadi insiden Natuna, 23 Maret, giliran Taiwan yang protes keras terhadap Indonesia karena dua kapalnya ditembak oleh TNI karena melewati perairan Indonesia.
“Indonesia seharusnya tidak menggunakan cara-cara kekerasan terhadap perahu kami, bahkan jika kapal itu terlibat dalam pencurian ikan. Saya ingin menyatakan bahwa cara-cara kekerasan tidak bisa diterima,” ucap Perdana Menteri Taiwan, Chang San-cheng.
Dua kapal yang dimaksud hendak melintas menuju Singapura, namun di tengah perjalanan ditembaki oleh kapal TNI.
Jika mengacu pada cerita insiden China dan Indonesia di pulau Natuna, maka kemungkinan besar dua kapal Taiwan tersebut menolak dihentikan oleh kapal TNI sehingga terjadi penembakan. Namun kemudian dilepaskan karena sudah berada di luar perairan Indonesia.
Dengan semua cerita ini, jujur saya jadi lebih bangga terhadap negara ini. Asli. Selama pemerintahan SBY, Indonesia sangat lembek menghadapi Malaysia. Tak terhitung sudah berapa puluh kali kita menutut SBY memprotes Malaysia atas aksi provokasi di Ambalat, pelecehan terhadap Habibie hingga penangkapan petugas DKP oleh Malaysia di perairan Indonesia tak mampu membuat SBY buka suara.
Tapi kini kita tak perlu lagi meminta pemerintah Indonesia memprotes negara lain. Malah negara luar lah yang memprotes Indonesia karena penenggelaman kapal sampai penembakan. Seolah kita sudah bangun dari tidur dan bilang “ini wilayah kekuasaan gue!”
Kita tidak lagi berkonflik dengan Malaysia, tapi langsung dengan negara kuat China. Tanpa perlu kita minta, pemerintah sudah lakukan protes keras. Menlu Retno panggil dubes dan menteri Susi minta China serahkan kapal Kway Fey. Ini luar biasa. Terlepas akhirnya nanti akan seperti apa, yang jelas respon yang seperti ini sangat jauh lebih keren dibanding Indonesia beberapa tahun lalu yang dengan Malaysia saja tanpa reaksi.
Setidaknya kita sudah berani menembak dan menangkap 8 awak kapal, meski gagal menyeret kapal Kway Fey. Bandingkan dengan pemerintah sebelumnya yang petugas DKP ditangkap Malaysia dan kita tidak berani protes. Kalau itu terjadi sekarang, mungkin KRI dan pesawat tempur sudah berada di perairan Malaysia.
Uniknya, segala keberanian tersebut muncul dari emak-emak, Bu Retno dan Bu Susi. Bu Retno nyaris tanpa ekspresi saat memberi pernyataan, seperti pembunuh berdarah dingin. Sementara Bu Susi yang kebetulan memelihara banyak kucing nampaknya benar-benar tak sudi ikan-ikan kita dicuri oleh negara lain.
Apakah Konflik Dengan China Akan Berlanjut?
Insiden di pulau Natuna antara KP Hiu dan Coast Guard China saya yakin tak akan berbuntut panjang dan membuat dua negara ini perang. Dubes China juga sudah cukup santun dalam pernyataannya siap bekerja sama dengan Indonesia. Meski sempat meminta 8 nelayannya dibebaskan, kita semua tau bahwa itu hal wajar. Kalau nelayan kita ditangkap negara lain pun pasti meminta hal serupa.
Di mata saya, ini seperti pemicu Indonesia-China menguatkan pertahanan di wilayah masing-masing, kalau tidak bisa disebut China sedang cari kawan. Karena Indonesia satu-satunya negara yang bebas dari konflik wilayah dan memiliki pasukan TNI yang sangat disegani dunia.
Kita tahu China sebenarnya berkonflik dengan Filipina, Vietnam dan Taiwan. Masalahnya Amerika sudah kirimkan kapal perangnya dan menyatakan siap berpatroli dengan Filipina. Armada Amerika juga diizinkan parkir di Singapore dan Thailand.
Jepang yang selama ini memang kurang akrab dengan China dalam bebagai hal juga seperti ikut dalam arus menantang China, setelah mereka menandatangani kesepakatan memasok senjata ke Filipina.
Dengan kondisi seperti itu, maka wajar saja jika China begitu loyal terhadap Indonesia. China mau investasi kereta api cepat Jakarta Bandung tanpa jaminan pemerintah. Sebelumnya gagasan tol laut Jokowi juga diyakini untuk meramaikan kondisi laut nusantara. Karena logikanya, semakin ramai, maka pergerakan Amerika tak akan begitu leluasa.
Dan lihatlah China langsung merespon proyek tol laut Jokowi dan ingin mengintegrasikannya dengan Maritime Silk Road. Jadi selain infrastruktur untuk membangun ekonomi, juga mengamankan wilayah masing-masing.
Jika ada konflik, Amerika pasti terlibat dengan alasan perdamaian. Begitu juga dengan Australia. Ingatlah bahwa pasukan mereka memasuki Timor Leste bahkan sebelum lepas dari Indonesia hanya karena alasan darurat dan perdamaian.
Jokowi sepertinya belajar dari catatan sejarah yang kemudian lebih memilih dekat dengan China. Negara yang selama ini ikut membangun Indonesia tanpa sedikitpun ikut campur kedaulatan wilayah dan provokasi. Semetara Amerika dan Australia jelas memiliki kepentingan di Papua.
Jika melihat insiden Natuna beberapa hari lalu, saya meyakini akan menjadi momen bagi Indonesia dan China memperkuat wilayah masing-masing. Opini publik sudah terbentuk dan pembanguban pangkalan militer, operasi, sampai penambahan alusista pasti ditambah untuk mengamankan wilayah.
Karena persis seperti kata Bu Retno yang menyatakan posisi radar Indonesia tak mungkin salah, China jelas masuk ke wilayah Indonesia. Sementara China mengelak masuk ke perairan Indonesia, padahal sebelumnya China untuk pertama kalinya tidak bisa arogan terhadap negara yang mengklaim wilayahnya terkait laut China selatan.
“Pihak China tidak keberatan atas kedaulatan Indonesia di Kepulauan Natuna,” kata Hong Lei.
Jadi kalau sekarang ada insiden di Natuna, ini hanya peringatan terhadap Indonesia untuk selalu siaga dengan wilayahnya, sebab China tak akan mengklaim Natuna. Setelah ini Indonesia akan meningkatkan pengamanan, sementara pesan pada dunia, khususnya Amerika dan Australia, sudah sampai melalui media massa.
China tentu saja tak akan langsung menyodorkan kapal perangnya untuk terlibat insiden karena benar-benar akan memicu konflik besar, melainkan dengan kapal nelayan yang China pasti tau betul ada majikannya kucing yang menjaga ikan-ikan di laut Indonesia dan pasti bereaksi. Sehingga terjadilah insiden dengan kadar yang sesuai dengan rencana.
Sebab begini, jika China yakin mereka sedang berada di wilayahnya, mereka pasti menghadang KP Hiu dan meminta nelayannya dikembalikan. Tapi mereka hanya menabrak Kway Fey kemudian KP Hiu meninggalkan kapal jarahannya.
http://seword.com/luar-negeri/insiden-natuna-antara-emak-emak-dan-dagelan-china/
Ceritanya, kapal pencuri ikan Kway Fey sempat menolak dihentikan. Lalu kapal KP Hiu milik Indonesia terpaksa melepas tembakan dan menabrak Kway Fey. Delapan orang awaknya diamankan dan kapal Kway Fey diarak menuju daratan Indonesia.
Namun tak lama kemudian kapal Coast Guard China datang dan menabrak badan kapal Kway Fey sehingga kapal tersebut gagal diseret ke daratan Indonesia. KP Hiu sempat menghubungi via radio, namun tidak ada jawaban. Jadilah kapal Kway Fey gagal dibawa ke Indonesia meski awak kapalnya yang 8 orang sudah ditangkap.
Atas insiden ini, Menteri Susi mengatakan China tidak mau kapalnya ditenggelamkan lagi. Karena sebelumnya Susi sudah menenggelamka 41 kapal pada Mei 2015 lalu yang diantaranya adalah kapal China.
Sementara Menlu Retno langsung memanggil dubes China dan menyatakan protes keras. “Saya sampaikan penekanan bahwa indonesia bukan merupakan claimant state di Laut China Selatan,” kata Retno.
Setelah pertemuan tersebut, dubes China siap berunding jika kembali terjadi konflik. “Untuk merespon segala jenis sengketa maritim, pemerintah China siap bekerja dengan pemerintah Indonesia untuk menuntaskannya melalui jalur negosiasi dan dialog,” kata Weide.
“Kami meminta para nelayan itu dibebaskan oleh pemerintah Indonesia. Saya menekankan bahwa pemerintah China mengharapkan pihak Indonesia dapat menyikapi kejadian ini dengan tetap menjaga hubungan bilateral yang baik antara kedua negara,” kata Weide.
Sementara Bu Susi selain sepakat dengan Menlu Retno bahwa Indonesia tidak terlibat konflik lau China selatan, beliau meminta China menyerahkan Kway Fey kepada Indonesia.
Kedaulatan Laut Indonesia di Tangan Emak-emak
Cerita ini menarik. Karena tentu bukan pertama kalinya Bu Susi membuat migren Menlu negara lain. 2015 lalu koran Malaysia memuat berita tentang betapa arogannya Bu Susi dan pemerintahan Presiden Jokowi karena menenggelamkan kapal nelayan mereka. Namun beruntung banyak warga Malaysia lebih suka dengan sosok Jokowi, sehingga opini publik untuk membuat konflik gagal diulang. Malaysia tak bisa layangkan protes apa-apa.
Namun kemudian mereka memprovokasi melanggar perairan Indonesia saat tidak ada pesawat tempur kita di sana.
“Jika pesawat kita ada di sana, mereka tak mau melakukan itu. Namun jika mereka tahu tak ada pesawat kita di Tarakan, mereka masuk. Kalau kita kejar dari Jawa, mereka keburu hilang,” ujar Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayor Jenderal Fuad Basya.
Hingga akhirnya TNI menggelar operasi sakti di sekitar blok ambalat dengan meletakkan 3 kapal perang dan 5 pesawat tempur.
Selain Malaysia, Thailand juga protes keras karena kapalnya dihancurkan. Malah dalam koran Bangkok Post mereka menyindir Indonesia yang selama ini tidak mampu menjaga kedaulatan lautnya, lalu sekarang melakukan cara kasar dengan mengengelamkan kapal mereka. Padahal ada ribuan kapal asing yang beroperasi di laut Indonesia selama ini.
Berita tersebut dimuat desember 2014, bersamaan dengan koran Malaysia. Hal yang mungkin mereka lupa adalah, Indonesia baru saja memiliki pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi.
Vietnam juga sama, mereka memprotes keras karena Indonesia berani mengebom kapal mereka.
Dari dalam Indonesia sebenarnya tak kalah banyak yang protes dan tidak setuju karena dapat mengganggu hubungan diplomatik negara ASEAN. Karena dulu SBY bahkan menegur langsung pembakaran kapal asing ilegal. Namin di lain kesempatan Jenderal Moeldoko hanya menjawab bahwa penenggelaman kapal atas instruksi langsung dari Presiden Jokowi yang kemudian diteruskan ke Menteri Susi.
Beberapa hari lalu sebelum terjadi insiden Natuna, 23 Maret, giliran Taiwan yang protes keras terhadap Indonesia karena dua kapalnya ditembak oleh TNI karena melewati perairan Indonesia.
“Indonesia seharusnya tidak menggunakan cara-cara kekerasan terhadap perahu kami, bahkan jika kapal itu terlibat dalam pencurian ikan. Saya ingin menyatakan bahwa cara-cara kekerasan tidak bisa diterima,” ucap Perdana Menteri Taiwan, Chang San-cheng.
Dua kapal yang dimaksud hendak melintas menuju Singapura, namun di tengah perjalanan ditembaki oleh kapal TNI.
Jika mengacu pada cerita insiden China dan Indonesia di pulau Natuna, maka kemungkinan besar dua kapal Taiwan tersebut menolak dihentikan oleh kapal TNI sehingga terjadi penembakan. Namun kemudian dilepaskan karena sudah berada di luar perairan Indonesia.
Dengan semua cerita ini, jujur saya jadi lebih bangga terhadap negara ini. Asli. Selama pemerintahan SBY, Indonesia sangat lembek menghadapi Malaysia. Tak terhitung sudah berapa puluh kali kita menutut SBY memprotes Malaysia atas aksi provokasi di Ambalat, pelecehan terhadap Habibie hingga penangkapan petugas DKP oleh Malaysia di perairan Indonesia tak mampu membuat SBY buka suara.
Tapi kini kita tak perlu lagi meminta pemerintah Indonesia memprotes negara lain. Malah negara luar lah yang memprotes Indonesia karena penenggelaman kapal sampai penembakan. Seolah kita sudah bangun dari tidur dan bilang “ini wilayah kekuasaan gue!”
Kita tidak lagi berkonflik dengan Malaysia, tapi langsung dengan negara kuat China. Tanpa perlu kita minta, pemerintah sudah lakukan protes keras. Menlu Retno panggil dubes dan menteri Susi minta China serahkan kapal Kway Fey. Ini luar biasa. Terlepas akhirnya nanti akan seperti apa, yang jelas respon yang seperti ini sangat jauh lebih keren dibanding Indonesia beberapa tahun lalu yang dengan Malaysia saja tanpa reaksi.
Setidaknya kita sudah berani menembak dan menangkap 8 awak kapal, meski gagal menyeret kapal Kway Fey. Bandingkan dengan pemerintah sebelumnya yang petugas DKP ditangkap Malaysia dan kita tidak berani protes. Kalau itu terjadi sekarang, mungkin KRI dan pesawat tempur sudah berada di perairan Malaysia.
Uniknya, segala keberanian tersebut muncul dari emak-emak, Bu Retno dan Bu Susi. Bu Retno nyaris tanpa ekspresi saat memberi pernyataan, seperti pembunuh berdarah dingin. Sementara Bu Susi yang kebetulan memelihara banyak kucing nampaknya benar-benar tak sudi ikan-ikan kita dicuri oleh negara lain.
Apakah Konflik Dengan China Akan Berlanjut?
Insiden di pulau Natuna antara KP Hiu dan Coast Guard China saya yakin tak akan berbuntut panjang dan membuat dua negara ini perang. Dubes China juga sudah cukup santun dalam pernyataannya siap bekerja sama dengan Indonesia. Meski sempat meminta 8 nelayannya dibebaskan, kita semua tau bahwa itu hal wajar. Kalau nelayan kita ditangkap negara lain pun pasti meminta hal serupa.
Di mata saya, ini seperti pemicu Indonesia-China menguatkan pertahanan di wilayah masing-masing, kalau tidak bisa disebut China sedang cari kawan. Karena Indonesia satu-satunya negara yang bebas dari konflik wilayah dan memiliki pasukan TNI yang sangat disegani dunia.
Kita tahu China sebenarnya berkonflik dengan Filipina, Vietnam dan Taiwan. Masalahnya Amerika sudah kirimkan kapal perangnya dan menyatakan siap berpatroli dengan Filipina. Armada Amerika juga diizinkan parkir di Singapore dan Thailand.
Jepang yang selama ini memang kurang akrab dengan China dalam bebagai hal juga seperti ikut dalam arus menantang China, setelah mereka menandatangani kesepakatan memasok senjata ke Filipina.
Dengan kondisi seperti itu, maka wajar saja jika China begitu loyal terhadap Indonesia. China mau investasi kereta api cepat Jakarta Bandung tanpa jaminan pemerintah. Sebelumnya gagasan tol laut Jokowi juga diyakini untuk meramaikan kondisi laut nusantara. Karena logikanya, semakin ramai, maka pergerakan Amerika tak akan begitu leluasa.
Dan lihatlah China langsung merespon proyek tol laut Jokowi dan ingin mengintegrasikannya dengan Maritime Silk Road. Jadi selain infrastruktur untuk membangun ekonomi, juga mengamankan wilayah masing-masing.
Jika ada konflik, Amerika pasti terlibat dengan alasan perdamaian. Begitu juga dengan Australia. Ingatlah bahwa pasukan mereka memasuki Timor Leste bahkan sebelum lepas dari Indonesia hanya karena alasan darurat dan perdamaian.
Jokowi sepertinya belajar dari catatan sejarah yang kemudian lebih memilih dekat dengan China. Negara yang selama ini ikut membangun Indonesia tanpa sedikitpun ikut campur kedaulatan wilayah dan provokasi. Semetara Amerika dan Australia jelas memiliki kepentingan di Papua.
Jika melihat insiden Natuna beberapa hari lalu, saya meyakini akan menjadi momen bagi Indonesia dan China memperkuat wilayah masing-masing. Opini publik sudah terbentuk dan pembanguban pangkalan militer, operasi, sampai penambahan alusista pasti ditambah untuk mengamankan wilayah.
Karena persis seperti kata Bu Retno yang menyatakan posisi radar Indonesia tak mungkin salah, China jelas masuk ke wilayah Indonesia. Sementara China mengelak masuk ke perairan Indonesia, padahal sebelumnya China untuk pertama kalinya tidak bisa arogan terhadap negara yang mengklaim wilayahnya terkait laut China selatan.
“Pihak China tidak keberatan atas kedaulatan Indonesia di Kepulauan Natuna,” kata Hong Lei.
Jadi kalau sekarang ada insiden di Natuna, ini hanya peringatan terhadap Indonesia untuk selalu siaga dengan wilayahnya, sebab China tak akan mengklaim Natuna. Setelah ini Indonesia akan meningkatkan pengamanan, sementara pesan pada dunia, khususnya Amerika dan Australia, sudah sampai melalui media massa.
China tentu saja tak akan langsung menyodorkan kapal perangnya untuk terlibat insiden karena benar-benar akan memicu konflik besar, melainkan dengan kapal nelayan yang China pasti tau betul ada majikannya kucing yang menjaga ikan-ikan di laut Indonesia dan pasti bereaksi. Sehingga terjadilah insiden dengan kadar yang sesuai dengan rencana.
Sebab begini, jika China yakin mereka sedang berada di wilayahnya, mereka pasti menghadang KP Hiu dan meminta nelayannya dikembalikan. Tapi mereka hanya menabrak Kway Fey kemudian KP Hiu meninggalkan kapal jarahannya.
http://seword.com/luar-negeri/insiden-natuna-antara-emak-emak-dan-dagelan-china/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar