
Sayangnya kabar tersebut terbukti keliru. Pagi hari setelah ia bunuh diri, gerbang itu dibuka lebar-lebar.
Beberapa lama sebelum kematiannya, Walter Benjamin, nama Yahudi pemurung itu, sempat menulis sebaris kalimat yang kini semakin sering dan relevan dikutip: ‘Di balik fasisme ada revolusi yang gagal.’
Yang dia maksud dengan Revolusi adalah rangkaian pergolakan kelas pekerja pada 1918-1919, sebuah periode singkat yang ditutup oleh berdirinya Republik Weimar, republik Liberal pertama di Jerman. Jangan keliru, republik ini tidak hadir sebagai prestasi kelas pekerja. Sebaliknya, ia tegak semenjak jasad dua pemimpin komunis Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht dibuang ke sungai, dan insureksi sayap kiri di sekujur negeri diberangus habis-habisan. Betapapun liberalnya periode Weimar, Republik yang gagal menyelamatkan Jerman dari krisis itu adalah produk pengkhianatan Partai Sosial Demokrat yang tidur satu selimut dengan Freikorps, Pemuda Pancasila-nya Jerman.
Mungkin Benjamin membayangkan Munich. Pada 1919, kaum pekerja Munich sukses menggulingkan Ludwig III, salah seorang raja dalam Imperium Jerman, lalu mendirikan Republik Merah. Empat belas tahun berselang, kota ini dideklarasikan sebagai ibukota Nazi dan kamp konsentrasi pertama pun segera berdiri di Dachau, belasan kilometer dari Munich. Hanya dalam waktu satu setengah dasawarsa, Munich Merah beralih rupa menjadi Munich Coklat—warna belatung, tai, dan kecoak, yang diingat orang Eropa hingga kini sebagai warna seragam fasis.
Kita boleh berdebat bagaimana Hitler naik ke tampuk kekuasaan, tapi sebetulnya dia tidak pernah sungguh-sungguh meraih dukungan popular tanpa membakar gedung parlemen, mengumumkan orang-orang kiri sebagai ancaman nasional dan mengirim mereka ke bui, lalu menyelenggarakan pemilu pada Maret 1933. Catatan tambahan: tidak akan ada bencana kemanusiaan di Eropa seandainya elit-elit Jerman saat itu tidak mengangkatnya sebagai kanselir, sebagai “mitra strategis”.
Tapi kabarnya juga, antisemitisme dan nasionalisme agresif sudah menjadi pakem sebelum kaum fasis berkuasa. Walhasil, Hitler hanya memanfaatkan sentimen-sentimen yang sudah ada dalam masyarakat—bahwa Yahudi adalah ras inferior-penyakitan yang meracuni Jerman; bahwa Yahudi merusak kemurnian ‘budaya adiluhung’ Jerman, dst. Tentu tidak sulit membayangkannya hari ini: Donald Trump tidak akan populer seandainya rasisme dan sentimen anti-imigran juga tidak populer; Prabowo tidak akan memenangkan empat puluh sekian persen suara seandainya kebencian terhadap Tionghoa dan minoritas relijius, seperti yang disebarkan fundamentalis-fundamentalis bajingan itu tidak pernah populer.
Dalam esainya tentang Leni Riefenstahl, propagandis Hitler dan sutradara film, kritikus Susan Sontag menyebutkan bagaimana Riefenstahl mendesain propaganda Nazi dalam film Triumph of the Will, dengan menampilkan ‘identitas Jerman’ yang tegap, disiplin, berani berkorban, berjiwa kolektif; pemandangan pawai di jalan-jalan, tribun, dan rapat raksasa. Gambaran-gambaran inilah yang disuguhkan sebagai antitesis karikatur Yahudi yang dikembangkan Nazi: dekaden, berpenyakit, lintah darat, individualis, tidak patriotik, agen asing. Bagi Sontag, segala hal yang disebutkan di atas adalah kunci estetika fasis.
Namun agaknya Sontag melupakan Munich.
Ketika kita membicarakan Munich—dan Triumph of the Will—kita sedang membicarakan elemen-elemen politik jalanan kelas pekerja yang dicuri kaum fasis. Ingat, sebelum belok Kanan pada 1933, Munich adalah bara Revolusi 1918. Sebelum jadi ibukota Hitler di tahun yang sama, Republik Soviet Bavaria sempat bertahan selama dua puluh tujuh hari di Munich. Disiplin, berani berkorban, berjiwa kolektif; parade, mimbar-mimbar jalanan, rapat raksasa, dan aksi langsung adalah identitas visual yang dibangun oleh gerakan kelas pekerja Eropa sepanjang abad 19. Singkat cerita, selain memanfaatkan kebingungan kelas pekerja setelah gagalnya revolusi; mereka juga mengkooptasi ekspresi-ekspresi politik pekerja yang serba jalanan itu.
***
Pada pertengahan 1990-an, Jogja adalah salah satu pusat perlawanan terhadap rejim Suharto. Tak sedikit mahasiswa Jogja yang terjun ke Kedungombo. Partai Rakyat Demokratik juga bermula di sini. Namun dua puluh tahun kemudian kota yang sama menjadi benteng aktivitas-aktivitas reaksioner, mulai dari maraknya pembubaran diskusi-diskusi kiri, pengorganisiran aktivitas anti-Syiah, penutupan paksa pesantren waria, hingga yang terakhir, represi atas protes tandingan menentang aksi Forum Umat Islam. Jogja, kota yang pernah Merah itu, kini jadi Coklat.
(Toh ini bukan fenomena baru. Kita bisa melihat bagaimana Solo, basis PKI dan nasionalis radikal sebelum 1965, kini lebih dikenal sebagai sarang Islamis garis keras.)
Belakangan orang meributkan konde hanya karena selembar poster aksi arak-arakan yang mengecam konde dan memilih jilbab. Konde tiba-tiba saja menjadi simbol politis untuk pluralisme, sementara jilbab untuk apapun yang sehari-hari diucapkan Felix Siauw.
Bagi saya masalahnya bukan memilih di antara keduanya: masalahnya adalah si pengecam konde hadir di jalanan—en masse, menguasai Car Free Day, sementara si pendukung konde tidak. Masalahnya bukan keberadaan segerombolan bigot goblok anti-Syiah; masalahnya adalah mereka melakukan ‘aksi langsung’ menyerbu aktivitas-aktivitas yang mereka tuding Syiah, sedangkan para pembela minoritas tak akrab dengan ‘aksi langsung’.
Betapapun klaim-klaimnya terdengar dungu dan barbar, kelompok-kelompok fasis-kolaborator aparat ini sangat memahami pentingnya dampak keterlihatan, yang hanya bisa diraih melalui penghimpunan massa, turun ke jalan, dan mental siap bentrok. Mereka sadar bahwa keterlihatan itu punya efek tekanan yang kuat terhadap otoritas, menempa mental disiplin dan spontanitas ‘kader’, sekaligus mampu menciutkan lawan yang sudah mengalami demoralisasi luar biasa setelah tak satu pun front bisa dimenangkan. Mereka paham, keputusan politik sederhana namun krusial pengaruhnya, misalnya kriminalisasi Ahmadiyyah melalui SKB tiga menteri, membutuhkan aksi-aksi berskala besar, liar, dan ilegal—sama halnya ratusan tahun lalu, hak berpendapat, berkumpul, berserikat, bekerja delapan jam, dan larangan perburuhan anak, hanya bisa disahkan setelah aksi-aksi berskala besar, liar, dan ilegal.
Dan proksi-proksi serdadu ini pun rupanya paham betul: semakin lama mereka berada di jalan, persepsi publik bahwa ‘mereka menang’ kian nyata, dan semakin aksi-aksi ini ditakuti, semakin tak terhindarkan pula kemenangan mereka.
Orang perlu mengingat Benjamin ketika kaum progresif gagal merebut ruang-ruang publik. Orang perlu mengingat Munich di saat jaminan atas hak-hak hidup yang paling formal saja tidak cukup sekadar dibicarakan di parlemen–karena hak-hak tersebut, bahkan yang paling liberal sekalipun, secara historis datang dari perjuangan-perjuangan kolektif yang keras di jalanan, bukan dari politisi salon. Well, Jika pelajaran dari Munich gagal diresapi, perjuangan yang berdarah-darah itu pun tetap akan muncul—namun dari pihak lawan dan musuh-musuh kelas. Benarlah yang ditulis Blanqui lebih dari seabad silam: ‘Dia yang menggenggam besi, menggenggam roti.’
Mungkin orang perlu sekadar diingatkan bahwa peristiwa sekecil pemutaran film Senyap di UIN Jogja yang terancam dibubarkan oleh anjing-anjing serdadu beberapa waktu lalu, terselamatkan oleh kenekatan dan mental siap bentrok para mahasiswa yang tetap memutar film dan terus membanjiri venue.
Pernah membayangkan seandainya Petamburan diduduki balik dan dilucuti oleh massa? Tentu tidak, karena memang tidak pernah ada yang mencobanya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar