
JFK memang salah
satu sahabat dekat Sukarno. Kedua pemimpin ini cocok bergaul. Lantaran
itu pula hubungan Indonesia dan AS membaik setelah sempat renggang pada
masa Presiden Eisenhower.
Saat Sukarno datang ke AS, Kennedy
menyambutnya dengan hangat dan memberinya helicopter sebagai
kenang-kenangan. Kennedy ‘pun berjanji akan mengunjungi Indonesia pada
1964. Merespon itu, Sukarno bahkan membangun sebuah paviliun khusus di
Istana Negara untuk menjadi tempat Kennedy menginap saat di Jakarta.
Sayang, Kennedy tak pernah menempati bangunan itu, karena buru-buru
ditembak.
Sebagian pihak menilai pembunuhan Kennedy penuh nuansa politis. Adakah pula termasuk politik penggalian emas PT Freeport?
Lisa Pease membeberkan dalam artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and Freeport” di Majalah Probe 1996. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC.
Freeport
ternyata sudah lama mengincar Papua. Tahun 1959, Perusahaan Freeport
Sulphur nyaris bangkrut karena tambang mereka di Kuba dinasionalisasi
oleh Fidel Castro. Dalam artikel itu, disebut berkali-kali CEO Freeport
Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun
berkali-kali pula menemui kegagalan.
Di tengah kondisi perusahaan
yang terancam hancur itu pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat
sebagai Direktur Freeport Sulphur menemui Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.
Gruisen
bercerita dirinya menemukan laporan penelitian di Gunung Ersberg
(Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun
1936. Disebutkan tembaga di gunung ini tak perlu susah-susah digali,
tinggal meraup, karena berada di atas tanah.
Wilson tertarik dan
mulai mengadakan survei ke Papua. Dia setengah gila kegirangan karena
menemukan gunung itu tak hanya berisi tembaga tapi emas! Ya, dia
menemukan gunung emas di Papua.
Tahun 1960, suasana di Papua
tegang. Sukarno berusaha merebut Papua dari Belanda lewat operasi
militer yang diberi nama Trikora. Freeport yang mau menjalin kerjasama
dengan Belanda lewat East Borneo Company pun belingsatan. Kalau Papua
jatuh ke Indonesia bisa runyam urusannya. Mereka jelas tak mau
kehilangan gunung emas itu.
Wilson disebutkan berusaha meminta
bantuan JFK. Tapi, tentu Presiden AS itu malah kelihatan mendukung
Sukarno. JFK pula yang mengirimkan adiknya Bob Kennedy untuk menekan
pemerintah Belanda agar tak mempertahankan Papua. JFK juga yang
mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot
mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan
dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran
akibat Perang Dunia II, terpaksa menurut.
Kontrak Freeport pun
buyar. Apalagi Sukarno selalu menolak perusahaan asing menancapkan kaki
mereka di Papua. Pada perusahaan minyak asing yang sudah kadung
beroperasi di Riau,Sukarno meminta jatah 60 persen untuk rakyat
Indonesia.
Kekesalan mereka bertambah, JFK akan menyiapkan paket
bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan
IMF dan Bank Dunia.
Sebutir peluru menghentikan langkah JFK.
Kebijakan pengganti JFK langsung bertolak belakang. Indonesia pun makin
jauh dari AS dan semakin mesra dengan Blok Timur yang bernuansa komunis.
Tragedi September 1965 menghancurkan Sukarno. Dia yang keras menolak modal asing, digantikan Soeharto.
Setelah
dilantik, Soeharto segera meneken pengesahan Undang-undang Penanaman
Modal Asing pada 1967. Freepot menjadi perusahaan asing pertama yang
kontraknya ditandatangani Soeharto.
Ironisnya, pemerintah Indonesia hanya dapat jatah 1 persen. Kontras sekali dengan apa yang diperjuangkan Sukarno.
Kalau JFK dan Soekarno masih ada, tak akan ada Freeport di Papua. (Sumber: Merdeka.com
test
BalasHapus