Masuknya Partai Amanat Nasional, PAN menjadi gong penting kekuatan politik Jokowi di Parlemen, sehingga desakan penyusunan anggaran APBN yang tadinya mau dihadang kelompok KMP, menjadi cair. Penghadangan APBN tidak terjadi, kecuali Gerindra yang hanya seminggu melakukan koreksi atas Ajuan RAPBN 2016 Pemerintah.
Jumat (6/11) bisa dikatakan menjelang titik kulminasi tensi politik. Hampir semua petinggi politik akan melihat Jokowi melakukan pertemuan dengan Zulkifli Hasan di Lampung. Sudah menjadi kesepakatan tak resmi, Zul PAN ini menjadi “jembatan diplomasi” antara Kekuatan Pro Pemerintahan dengan Oposan, walaupun Zul membawa Partainya PAN sebagai bagian dari mesin pemerintahan, ia dengan cerdik menempatkan besannya sekaligus simbol PAN tetap sebagai mesin politik di KMP.
Amien Rais menjadi corong Prabowo sementara Zul menjadi corong Jokowi, uniknya mereka inilah yang kemudian memegang bola dan membawa pesan pesan reshuffle dibawah “operasi tutup mulut” seluruh kader PAN untuk tidak menyebut siapa yang dijagokan.
Kekuatan koalisi pro Pemerintah sangat percaya dengan Zul PAN, karena dia mampu mengikat dirinya dengan Megawati. Persekutuan politik Mega-Zul ini membawa angin baru bagi Pemerintahan Jokowi yang selama ini repot dengan serangan politik KMP.
Jokowi sendiri secara pelan-pelan melepas beban politiknya terhadap Rini Soemarno, yang sontak setelah menyerang Megawati menjadi semacam “Avonturir di tengah Kabinet Jokowi”. Presiden Jokowi awalnya sangat mempercayai Rini Soemarno, namun setelah ia menerima banyak data-data dan fakta bahwa BUMN hancur lebur dibawah Rini Soemarno, Jokowi mulai balik badan dan menginginkan BUMN melakukan revitalisasi tidak berbasis hutang, tapi berbasis pada restrukturisasi.
Presiden Jokowi, melihat indeks BEI saham-saham BUMN yang anjlok sampai lebih 30%, merupakan refleksi kegagalan manajemen BUMN berkelit ditengah krisis, bahkan pencairan dana BUMN 48 trilyun tidak mempengaruhi kepercayaan pasar, penurunan ini menunjukkan pasar tidak melihat adanya terobosan baru membuat BUMN semakin besar, yang ada adalah pengguyuran dana ke BUMN secara besar-besaran sementara BUMN sendiri tidak melakukan koreksi atas manajemen kinerja mereka.
Rini Soemarno Beban Politik Jokowi
Jokowi menginginkan semua mesin politik efektif mendukung langkah-langkah dan obsesinya. Ia amat terobsesi dengan infrastruktur. Pada kerja Infrastruktur ia meletakkan fundamental gagasan pemerintahannya, ia dengan cepat membereskan proyek proyek infrastruktur yang mantap, ia bangun pelabuhan-pelabuhan dengan arah menuju Timur Matahari, dalam mimpi Jokowi, Timur Indonesia adalah masa depan baru perekonomian nasional, dengan menciptakan arus barang yang efektif maka percepatan pembangunan di Indonesia Timur terjadi.
Namun mimpi Jokowi soal infrastruktur dimanfaatkan oleh Rini Soemarno, bukannya mengenalkan pembiayaan berbasis modal jangka panjang, Rini malah memaksa Presiden Jokowi membuka pintu hutang besar-besaran. Awalnya Jokowi setuju dan itu terjadi pada saat Memperingati Konferensi Asia Afrika, di Bandung April 2015.
Disana dengan arahan Rini, negara dipaksa berhutang dengan RRC. Tapi kejanggalan kemudian terjadi ketika Menteri Rini amat berambisi dengan Proyek Kereta Cepat Bandung-Jakarta. Presiden menolak rencana Rini soal kereta cepat, karena kereta cepat itu hanya proyek untuk menaikkan harga tanah di sekitar rencana ini bagian dari spekulan tanah, tidak menjadi akselerator pembangunan ekonomi nasional, dan ada rencana rencana tersembunyi di balik proyek kereta cepat Bandung Jakarta.
Perlu dicatat Jokowi pernah punya pengalaman buruk soal Monorel, saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia dikerjai Edward Soerjadjaja soal Monorel, oleh Edward, Jokowi ditawarkan pendanaan monorel dengan back up pendanaan perusahaan investasi Ortus Capital, - ujung ujung dari monorel malah menaikkan harga tanah dan cari lokasi mall baru, bukan dari penjualan tiket.
Presiden yang trauma atas monorel melihat rencana kereta cepat Rini ini sama saja dengan proyek monorel yang gagal, titik keuntungan dari Proyek Kereta Cepat adalah lahan di PTPN VIII di wilayah Cikalong Wetan yang akan diakuisisi dan jadi lahan murah yang nantinya disulap jadi lahan mahal.
Presiden menilai bila kereta cepat Jakarta-Bandung tidak memperluas akses ekonomi, mereka hanya putar putar di kelas menengah yang itu itu saja.
Presiden Jokowi membaca laporan analisa dari Menteri Perhubungan Jonan, yang secara tegas menolak kereta cepat Jakarta-Bandung dan memilih pembangunan proyek kereta di luar Jawa. “Dulu di masa Hindia Belanda, ekonomi melonjak cepat karena dibangunnya rel kereta di Jawa dan Sumatera, kini seluruh kepulauan Indonesia akan dibangun jaringan kereta api, sehingga budaya perhubungan kita bukan budaya individual tapi budaya komunal” kata Jonan saat diskusi dengan Presiden Jokowi yang juga dihadiri Menteri Rini, alasan filosofis inilah yang membuat Presiden lebih memihak Jonan ketimbang Menteri Rini yang merengek rengek minta proyek kereta api cepat dengan jaminan pemerintah.
Akhirnya Rini dikalahkan oleh Jokowi yang lebih memilih Jonan, sejak itulah Menteri Rini sudah melihat Presiden Jokowi menjauh secara politis.
Beban politik kedua bagi Jokowi adalah ketika Presiden memerintahkan untuk membereskan pelabuhan kepada Menko Maritim Rizal Ramli, namun perintah itu berkembang pada persoalan Pelindo II dimana Boss dari Pelindo II merasa amat jumawa menantang Menko Rizal. Sudah jadi rahasia umum, bahwa RJ Lino pernah dijagokan akan menjadi Menteri Perhubungan, namun kemudian gagal karena Jokowi akhirnya menolak setelah melihat kapasitas Lino yang tidak ‘clear’, dugaan ini benar di kemudian waktu ketika Komjen Budi Waseso membongkar permainan permainan Lino di Pelindo II.
Permainan Lino dibongkar oleh anak buahnya sendiri para karyawan JICT, pusat dari permainan Lino adalah menjual konsesi Jakarta International (JICT) ke perusahaan milik Li Ka Shing, Hutchison dengan harga sangat murah (Berita : Negara Rugi 20 Trilyun Bila JICT Disewakan ) .
Kemudian untuk menutupi kasus ini Lino dengan pikiran cepatnya membuat ulah menelpon Sofyan Djalil, Menteri Bappenas dan kemudian kasus bukan lagi terfokus pada ulah pelanggaran Lino, malah pada diri Komjen Buwas yang menyisakan dendam masyarakat soal KPK kemarin. Komjen Buwas dilengserkan, dan Lino bertahan secara tak langsung ini memamerkan kepada masyarakat bahwa “Lansekap Kabinet Jokowi” tidak didasarkan pada asas profesionalitas tapi saling unjuk pengaruh, jelas Lino adalah orangnya Jusuf Kalla dan Lino kemudian juga tanpa kendali karena Rini Soemarno mengijinkan segala tindakan Lino soal penjualan konsesi sewa JICT kepada Hutchison, disinialah Rini kemudian disorot publik.
Presiden Jokowi yang sejak kemunculannya menjadi Walikota Solo sampai Presiden Republik dalam waktu cepat, didasarkan pada “Perekonomian Populis” bukan “Perekonomian Ekslusif”, kepercayaan Presiden Jokowi pada Rini Soemarno dalam mengembangkan BUMN malah disalahgunakan oleh Rini untuk membangun ekonomi berbiaya mahal, ia membangun bisnisnya dengan struktur hutang hutang baru, bukan revitalisasi manajemen BUMN dan membuat terobosan baru BUMN mengelola modalnya sehingga menambah masukan bagi negara.
BUMN malah jadi beban negara dengan adanya PMN (Penanaman Modal Negara) kepada BUMN. Ini jelas tidak adil bagi ekonomi kerakyatan, sebuah garis ekonomi yang disepakati Presiden Jokowi dengan konstituennya.
Untuk membebaskan dirinya agar tidak terjebak dalam permainan Rini Soemarno yang diluar kendali, Jokowi membiarkan Rini Soemarno menunjukkan “siapa dia sesungguhnya”. Penilaian publik ini menjadi penting bagi Jokowi agar ia tidak tertawan dalam konfigurasi Rini Soemarno di kabinet.
Pada awalnya Jokowi hanya diam ketika muncul istilah baru “Trio Macan Istana”, namun Jokowi membiarkan permainan itu berkembang dengan cerdik Jokowi berhasil menyingkirkan Andi Widjajanto yang dianggap sebagai bagian “kekuasaan Rini Soemarno”, kemudian setelah Andi dibereskan, Jokowi menempatkan Pramono Anung, politisi senior PDI Perjuangan, Jokowi ingin menjadikan Pramono Anung sebagai “Jaminan Kepercayaan” PDIP, komunikasi antara Jokowi dan Partai pendukungnya yang sempat dirusak oleh Andi Widjajanto beres dengan sendirinya ketika Andi melakukan kesalahan fatal saat memperingati KAA di Bandung, April lalu soal pidato dan juga kemudian soal ajuan pembelian kendaraan dinas “yang tidak dibaca Jokowi”. Disini Jokowi menunggu apa kapasitas orang itu bisa dipercaya atau tidak ia meletakkannya pada publik.
Reshuffle II, Sayonara Untuk Rini
Jokowi amat terkenal dengan permainan politik “Biarkan Mereka Bicara”. Disini penolakan Jokowi dengan smart dibawa isunya oleh Jokowi ke Partai-Partai lain, sehingga Partai diluar koalisi-lah yang sekarang meminta Rini keluar dari gelanggang, seluruh Partai dan sebagian besar sukarelawan Jokowi dari kubu idealis meminta Rini keluar.
Kesalahan Rini memang fatal dia merengek rengek dana 30 trilyun kepada negara untuk membiayai bisnis-bisnis BUMN, padahal berapa banyak cangkul petani bisa diberikan, berapa banyak lahan baru pertanian bisa dibuka, berapa banyak kapal kapal nelayan dibuatkan, berapa banyak dorongan bisnis UKM anak muda dikembangkan dengan insentif dana 30 trilyun itu.
Pada akhirnya, Jokowi memang kembali kepada ‘genuine’-nya, dia membangun ekonomi rakyat dengan paket paket kebijakan, ia menstimulir dorongan bisnis UKM di tingkar akar massa, ia mulai berpihak pada petani dan nelayan, dan pada reshuffle kedua nanti, ia mengucapkan “Sayonara” untuk Menteri Rini Soemarno.
Penulis : Nandita Sulandari
Sumber:
http://www.lensaberita.net/2015/11/tiba-yang-ditunggu-reshuffle-jilid-ii.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar