ELVIPS.COM - Pemerintah masih berkeras bahwa tak ada masalah serius yang harus ditangani secara cepat dan khusus dalam perekonomian nasional. Meski PHK dan kredit macet sudah mulai melambung, pemerintah menganggap semuanya masih dalam jalur yang benar.
Pemerintah berpatokan pada negara seperti Yunani, yang sedang menghadapi krisis utang. Dalam arti, hanya negara dengan utang melebihi PDB yang bisa babak-belur oleh krisis keuangan. Karenanya pemerintah masih saja rajin berburu utang, baik yang berbunga komersial, lunak, maupun semi lunak.
Hal ini mengingatkan Indonesia sebelum dihantam krisis moneter 1997. Ketika itu para petinggi pemerintah dan ekonom yakin betul bahwa krisis keuangan Thailand tak akan menjalar ke Indonesia. Alasan mereka, fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat. Mereka mengacu pada cadangan devisa, stabilitas kurs rupiah, dan perbandingan utang terhadap PDB yang semuanya jauh lebih baik ketimbang Thailand.
Ketika itu pemerintah bahkan tampak yakin betul bahwa Indonesia akan sanggup mengejar ketertinggalannya dari Empat Naga Asia: Hongkong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Alasannya, Indonesia sudah tinggal selangkah lagi memasuki tahap lepas landas.
Dampak dari krisis tersebut memang mencengangkan. Sampai sekarang dana talangan untuk para konglomerat senilai Rp 750 triliun utang masih jauh dari lunas, dan menjadi beban pemerintah. Sebagian besar bank swasta papan atas jatuh ke tangan asing.
Semua itu membuktikan bahwa Indonesia adalah korban terbesar dari krisis keuangan Asia Timur yang mulai meletup di Thailand. Biang keladi dari kenyataan tersebut adalah sistem dan kebijakan ekonomi yang rapuh dan tidak realistis. Kejengkelan masyarakat pun berkembang menjadi bom waktu yang sanggup meruntuhkan kekuasaan rezim Orde Baru.
Kini sikap pemerintah mirip dengan para petinggi Orde Baru menjelas krisis moneter 1997, yaitu cenderung menganggap enteng. Hal ini tercermin dari pesan Budiarto Shambazy, yang diedarkan melalui WA ke berbagai kalangan. Dalam pesannya, berdasarkan pertemuan beberapa wartawan senior dengan dengan Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro, Deputi Senior BI Mirza Adityaswara, dan komisioner OJK Firdaus Jaelani, Shambazy menyimpulkan bahwa situasi Indonesia lebih baik ketimbang negara-negara lain. “Ekonomi Indonesia tidak pada tingkat mengkuatirkan. Kepala dan dada kita masih tegak di atas permukaan air.”
Sementara itu, ancaman dari dalam dan luar negeri terhadap perekonomian Indonesia tampak kian besar. Dari sisi luar negeri, menurut William T. Wilson, peneliti senior Asian Studies Center - The Heritage Foundation’s Asian, Indonesia harus berhadapan dengan kenyataan baru yang bisa memperlemah perekonomian Asia. Kenyataan ini adalah perubahan struktur kependudukan akibat menurunnya tingkat kelahiran dan makin panjangnya harapan hidup, menurunnya nilai ekspor, melemahnya pertumbuhan ekonomi Cina, dan buruknya kualitas kredit perbankan.
Pada era 1960-an, setiap wanita rata-rata melahirkan 5,8 anak. Kini tinggal 2,1. Di kawasan Asia Timur, satu wanita kini bahkan hanya melahirkan 1,7 anak. Dan hal ini, seperti dialami Jepang, menyebabkan pertumbuhan ekonomi melemah.
Sementara itu, di Cina, masa pertumbuhan ekonomi di atas 10% sudah berakhir. Pemerintah Cina memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini akan mencapi 7%, atau separuh bila dibandingkan masa jayanya yang bisa mencapai 14%.
Dampak merosotnya pertumbuhan ekonomi Cina jelas besar karena perekonomian terbesar kedua di dunia ini menguasai 45% dari PDB Asia. Selain itu, Cina juga rekan dagang terbesar bagi 18 negara Asia, termasuk Indonesia. Cina bahkan mengkonsumsi 40%, 30%, dan 25% komoditas ekspor Taiwan, Australia, dan Korea Selatan.
Tak kalah mencengangkan adalah kenyataan bahwa Cina tergolong rakus utang. Menurut catatan McKinsey & Co, utang negara berpenduduk terbesar di dunia ini telah mencapai US$ 28 triliun. Angka ini setara dengan 280% PDB Cina.
Dari sisi dalam negeri, perekonomian Indonesia sedang digerogoti oleh melemahnya ekspor, makin menumpuknya utang, loyonya rupiah, meningkatnya kredit macet, dan absennya langkah terobosan dari pemerintah.
Sebaliknya, selain obral pesona, para petinggi pemerintah juga tampak asyik meyakinkan masyarakat bahwa tak ada yang serius dalam perekonomian nasional. “Semuanya dalam jalur yang benar,” kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dalam berbagai kesempatan.
Tampaknya Menkeu tak melihat tanda-tanda bahwa perontokan ekonomi Indonesia tengah berjalan kian cepat. Maka, bila pemerintah tetap bersikap alon alon asal kelakon (pelan-pelan asalkan tercapai), bisa jadi, tak cuma perekonomian yang rontok. Mudah-mudahan bukan RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar