F MEMBANGUN KEMBALI KEJAYAAN NEGARA MARITIM NUSANTARA - VIP 4LIFE TRANSFER FACTOR

MEMBANGUN KEMBALI KEJAYAAN NEGARA MARITIM NUSANTARA

Oleh: Letkol Purn. TNI AL Djuanda Wijaya, SIP (Alm)

Para ahli sejarah bangsa Eropa pernah melontarkan ungkapan sebetulnya nenek moyang bangsa Indonesia adalah mereka yang datang dari Asia Tenggara (Indochina/Yunan) dalam dua gelombang migrasi besar-besaran melalui laut, yakni pada 5000 tahun SM dan pada 2000 tahun SM, dan dalam perjalanan tersebut sumber penghidupan mereka hanya berasal dari laut. Peninggalan prasejarah seperti Cadas Gua di pulau-pulau Muna, Seram dan Arguni yang diperkirakan berasal dari 1000 tahun SM dipenuhi dengan lukisan perahu-perahu layar pada waktu itu. Juga dengan ditemukannya beberapa artefak suku Aborigin di Australia yang diperkirakan berasal dari 2500 tahun SM ternyata memiliki kemiripan dengan yang ditemukan di pulau Jawa. 

Fakta tersebut memperlihatkan adanya indikasi bahwa jauh sebelum gelombang manusia dari Indochina datang ke Indonesia, nenek moyang bangsa-bangsa Nusantara sudah memiliki hubungan dengan suku Aborigin di Australia melalui laut. Peninggalan prasejarah bekas kerajaan Merina yang didirikan oleh perantau dari Nusantara ditemukan juga di Madagaskar. Hal ini menunjukkan, bahwa nenek moyang penduduk Nusantara pada masa itu telah memiliki teknologi pembuatan perahu bercadik dan perahu layar yang mampu mengarungi samudera dengan medan yang sangat berat. 

Jejak prasejarah bercirikan istilah maritim juga ditemukan di wilayah rumpun bahasa Austronesia, di mana pengaruh istilah maritim bahasa Nusantara terasa sangat kuat dibandingkan dengan pengaruh rumpun bahasa lainnya. Bertolak dari bukti prasejarah nusantara itu memberikan indikasi bahwa nenek moyang bangsa Nusantara adalah asli pelaut dan pengembara, dan sejak ribuan tahun sebelum Masehi sudah mampu menghadapi gelombang besar melewati samudera Pasifik dan samudera Hindia. Fakta sejarah ini memperlihatkan bahwa bangsa nusantara adalah pelaut-pelaut ulung yang jejak kebudayaannya masih dapat diikuti sampai sekarang.

Pada jaman pengaruh Hindu-Budha mulai menyebar di kepulauan Nusantara, kerajaan-kerajaan Nusantara pun melakukan kegiatan maritim aktif, baik intra insular ataupun ekstra insular, hingga ke India dan Cina. Kepulauan Nusantara waktu itu merupakan wilayah yang kaya dengan komoditas perdagangan, dan geoposisinya merupakan posisi silang dimana terdapat jaringan komunikasi dan transportasi maritim (misalnya; rute Cina -Taruma -India), ditandai dengan ditemukannya artefak Cina dan India di Situs Batu Jaya Karawang. Kerajaan Sriwijaya berjaya berdasarkan visi kemaritimannya yang menguasai jaringan transportasi dagang, jaringan komoditas dan jaringan pelabuhan terutama di sekitar Selat Malaka. 

Selain itu pemerintahan maritimnya kuat dan efektif serta tercatat sebagai pemerintahan dengan kekuatan laut yang diperhitungkan. Di Jawa, kerajaan Hindu Majapahit mencapai puncak kejayaannya pun berdasarkan visi maritimnya. Wilayah kekuasaannya merupakan sebaran kerajaan bawahan yang memiliki pelabuhan dan komoditas dagang vital terutama beras. 

Kapal-kapal dan pelaut-pelaut Jawa tercatat dalam kronik-kronik di mancanegara (Sukodaya - Thailand dan Pegu - Myanmar) sebagai manifestasi kejayaan negara maritim Majapahit yang juga menjadi pusat budaya dan peradaban di Nusantara. Selain itu kekuatan maritimnya merupakan modal dasar untuk melakukan kolonisasi, ekspansi dan penetrasi budaya di zaman tersebut. Sementara itu, kerajaan dan kesultanan Islam pesisir utara Jawa, Demak - Bintara, Tuban, Lasem dan Jepara melanjutkan tradisi maritim Majapahit sekaligus menyebarkan (prolifikasi) agama Islam dan menantang keberadaan kekuatan maritim Portugis yang mulai merajalela di Nusantara karena dorongan dinamika lingkungan ekonomi strategis (direbutnya Konstantinopel oleh Turki Osmani yang mengakibatkan terganggunya perdagangan komoditas rempah-rempah dan barang mewah dari Asia). 

Di masa yang bersamaan, Banten pun berkembang menjadi kekuatan maritim yang mengendalikan wilayah barat Nusantara dan mengendalikan perdagangan lada. Peran kekuatan maritim Demak digantikan oleh Mataram yang sampai abad ke - XVII masih dapat diperhitungkan sebagai negara maritim. Perubahan visi pemerintahan dan kekalahan dalam persaingan melawan VOC (kompeni dagang Hindia Timur) membuat Mataram kemudian menjadi lemah dan bervisi darat.

Abad ke-XVII ditandai juga dengan berjayanya kerajaan maritim Aceh yang melanjutkan tradisi Sriwijaya menjadi kekuatan maritim yang mengendalikan alur laut perdagangan di sekitar Selat Malaka sampai awal abad ke-XVIII sebelum kemudian tidak lagi sanggup bersaing dengan kekuatan maritim imperialis barat Belanda dan Inggris. Di kepulauan Nusantara bagian Timur, Kesultanan Makasar dan konfederasi kerajaan etnis Bugis (Bone, Sawito, Luwu, Tanete dan lain-lain) yang berwawasan Maritim menjadi dua kekuatan yang mengendalikan wilayah perdagangan dan wilayah komoditas. Sifat diaspora (penyebaran) kedua kelompok etnis ini membuat mereka hadir dimana-mana dan dapat mempertahankan budaya Maritimnya hingga sekarang, meskipun kedua kerajaan tersebut juga tidak sanggup menghadapi kekuatan maritim imperialis Barat (VOC maupun Belanda).

Lebih timur lagi, Kesultanan Ternate dan Tidore, yang menguasai sumber komoditas sangat penting seperti rempah-rempah, mengendalikan pula perdagangan dan jaringan transportasi serta komunikasi Wilayah Timur Nusantara. Tradisi insularitas kedua kesultanan ini sangat terlihat dan merupakan salah satu ciri pemahaman geostrategi ’perfect isolation’ di Kepulauan Nusantara. 

Dari ulasan singkat kejayaan negara-negara maritim tersebut dapat disimpulkan bahwa kemajuan negara maritim nusantara tidak terlepas dari adanya konsep strategi yang handal yang dapat digunakan untuk membangun kembali bangsa Indonesia untuk menjadi negara maritim yang besar. Yaitu :

a. Adanya konsep penguasaan maritim, termasuk penguasaan jaringan trasportasi dagang, jaringan komoditas dan jaringan pelabuhan.


b. Adanya pusat-pusat kebudayaan yang menjalankan fungsinya sebagai pusat pendidikan dan pelatihan kemaritiman serta membangun dan menumbuh kembangkan budaya maritim dari pesisir hingga ke pedalaman.


c. Keberhasilan negara-negara maritim dalam rangka menjalankan sistem pemerintahan dalam negeri yang kuat dan efektif.


d. Berjalannya aksi-aksi kolonisasi dan imperialisme, termasuk melakukan penetrasi budaya dan agama serta memiliki kemampuan diplomasi yang handal.


e. Memperkuat jaringan kerja budaya, politik, dan perekonomian dalam rangka mendukung proses kolonisasi, imperialisme dan diplomasi.


Namun, kemajuan jaman akhirnya membawa bangsa maritim nusantara pada keterpurukan, satu persatu mereka tenggelam dan terpuruk akibat ketidak mampuan mereka untuk melawan kekuatan maritim yang lebih besar dan menggunakan teknologi yang lebih canggih. Selain itu terjadi pula kemerosotan kualitas sumber daya manusia akibat berubahnya paradigma dari bangsa maritim menjadi bangsa agraris yang berorientasi daratan (land minded). Sementara bangsa lain yang menganut wawasan maritim memperkaya diri dan memperkuat diri dengan berlandaskan pada pola pikir kolonialisme, imperialisme dan exploitation de l’homme par l’homme (dominasi, eksploitasi dan pengendalian).

Sumber keterpurukan lain adalah lemahnya kepemimpinan dan kenegarawanan para pemimpin Nusantara sehingga mudah terseret dalam krisis politik kratonik dan konflik internal yang tidak habis-habisnya.

Dinamika lingkungan internasional pada waktu itu juga turut mempengaruhi situasi konfliktual di kepulauan Nusantara, seperti kejayaan Turki Osmani, perang maritim antara Belanda-Inggris-Perancis, munculnya Napoleon Bonaparte dan sebagainya. Alhasil, banyak koloni asing yang mulai melakukan penetrasi ke beberapa wilayah termasuk di wilayah nusantara untuk mencari sumber daya untuk mendukung logistik mereka, khususnya bagi beberapa koloni yang memiliki armada perang besar. 


Sementara itu, kondisi bangsa maritim di wilayah nusantara banyak yang terlibat konflik serta tidak memiliki kekuatan untuk melawan armada asing yang notabene sudah menggunakan teknologi yang lebih canggih. Melihat situasi Indonesia saat ini sebagai entitas kepulauan, yang merupakan satu kesatuan wilayah negara meliputi pulau-pulau besar dan kecil beserta perairan laut disekelilingnya, justru memiliki fungsi positif sebagai penghubung dan tidak dipandang memiliki fungsi negatif sebagai pemisah, meskipun pada dasarnya memiliki perbedaan sifat alamiah namun keduanya terikat dalam gagasan kesatuan kewilayahan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah adanya karakter-karakter khusus berdasarkan sejarah geologis dan riwayat geografis maupun sejarah demografi dari kepulauan nusantara yang masing-masing menggunakan pendekatan keilmuan sesuai dengan disiplin yang dianut.

Alhasil, jika membicarakan kepulauan Indonesia melalui berbagai macam pendekatan keilmuan, bolehlah kita berbangga hati dengan beragamnya aspek kehidupan yang dapat terungkap dari tanah air kita. Kekayaan perspektif dalam aspek-aspek itu terjadi dengan adanya dinamika interaksi, interrelasi, dan interdependensi yang mengejawantah sebagai ruang hidup dan ruang juang masyarakat yang mendiami kepulauan nusantara. Heterogenitas alamiah tiap wilayah di kawasan kepulauan sangat mempengaruhi perkembangan budaya dan perkembangan peradaban bangsa-bangsa yang mendiami pelosok nusantara. 

Hubungan ekologis tersebut rupanya mempengaruhi elan vital maupun penalaran, pengertian dan kepekaan setiap bangsa ataupun suku bangsa dalam kehidupannya sehari-hari. Keterkaitan manusia dengan alam menghasilkan cipta, karsa dan rasa yang rasional maupun irasional, yang material maupun immaterial dan terejawantah sebagai konsep kreatifitas teknologis maupun konsep-konsep yang lebih abstrak bersifat kepercayaan, keyakinan dan bahkan keagamaan. Dimensi ruang wilayah seolah-olah dikendalikan oleh kekuasaan dan kekuatan yang menakjubkan, ajaib, sakti, kuat dan mungkin kejam (fascinarum tremendum) dan juga mengandung banyak rahasia (mysterium) serta perlu ditelisik dan dikontemplasi secara spiritual (spiritual scrutinum). 

Cara pandang ini berada dalam kadar yang berbeda-beda pada keaneka ragaman persepsi dengan bentuk dan materi legenda, mitos maupun logosnya. Persepsi Kanjeng Raut Kidul sebagai penguasa laut bagi orang Jawa yang percaya adalah contoh dari cara pandang tersebut. Cara pandang yang berkonotasi negatif menyebabkan adanya penyekapan segi takut dan alineasi bahkan menjauh. 

Lautpun akhirnya dikonotasikan negatif, yakni sebagai sumber malapetaka, kebinasaan dan sebagai alat Tuhan untuk mencuci dunia dari segala macam dosa dan keburukan, kemalangan maupun kejahiliyahan (azab). Tetapi sebaliknya, laut juga dapat dipandang sebagai pembawa keberkahan karena laut dianggap merupakan sumber kekayaan yang melimpah serta media penghubung antar wilayah, sumber keselamatan dan sekaligus pelindung alamiah dari segala musuh. Setiap wilayah tentu memiliki nilai materiilnya masing-masing berupa nilai yang berhubungan dengan suatu kepentingan, baik kepentingan yang menyangkut hajat hidup (kategorik) maupun kepentingan spekulatif lain. 

Siapa yang berhak menetapkan nilai kepentingan suatu wilayah? Tentu saja siapapun bisa memberikan nilai tersebut. Dan karena adanya kebebasan untuk menilai itulah, akhirnya muncul masalah klaim kepemilikan, mutlak ataupun relatif, sesuai dengan hasrat realisasi spekulatif dari tiap pihak. 

Hasrat untuk berspekulasi guna memenuhi kepentingan tersebut yang kemudian menjadi dasar untuk menciptakan dominasi, eksploitasi dan kendali dalam sebuah wilayah. Bentuknya bisa saja berupa kompromi, konsensus, kerjasama maupun kolaborasi. Namun bisa pula kemudian menjadi situasi konfliktual yang sewaktu-waktu dapat menjurus kepada suatu bentuk eskalasi manifestasi penggunaan kekerasan.

Kepentingan lain yang muncul adalah kepentingan yang berdasarkan pada moralisme idealistik tentang ide keharmonisan alamiah lingkungan hidup dalam batas-batas rambu humanistik yang juga kemudian bisa berbenturan dengan kepentingan kategorik berdasarkan ide penaklukkan dan pengendalian alam, maupun kepentingan spekulatif yang lebih berdasarkan pada nilai guna, manfaat dan kepentingan semata. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kepentingan tersebut ada untuk menjalankan proses berdinamika dan bermekanika dalam sebuah sistem yang terstruktur dan terinstitusi baik lokal, regional maupun internasional. Bagi sebuah bangsa yang selama ini dikaruniai tanah air yang luar biasa kaya raya oleh Tuhan, maka langkah reflektif yang terus menerus dan seharusnya dilakukan adalah mawas diri dan selalu mengukur diri dengan menggunakan standarisasi proses, kemajuan peradaban dan kebudayaan, baik materiil maupun imateriil. 

Asumsi lain yang penting dalam cara pandang atau perspektif ruang juang adalah rumusan atau formulasi kita mengenai ancaman baik dari dalam maupun dari luar, baik fisik maupun non fisik serta potensi ataupun kemampuan yang dimilikinya. Konteks ancaman pada saat ini memang sudah demikian virtual, cerdas dan berkemampuan serba neka, serba tepat, dan amat sarat dengan teknologi yang terus menerus mengalami revolusi menetap menuju kecanggihan. Ketanggap-waspadaan serta ketanggap-sasmitaan adalah dua kata kunci untuk kita dalam rangka mengantisipasi segala ancaman, baik dilakukan dalam proses pra anggapan sampai dengan proses penyusunan konklusi atau kesimpulan. Marilah kita memancang ruang hidup dan ruang juang kita serta situasi dan kondisi yang meliputinya.

Abstraksi ruang wilayah kita jika dilihat secara nirmana datar memperlihatkan dua karakteristik dan klasifikasi matra datar/ tanah atau perairan yang membentang pada satu proyeksi teknik pemetaan dari bujur timur sekian derajat sekian menit dan detik hingga bujur timur sekian, dari lintang utara sekian hingga bujur selatan sekian. Namun apabila kita bayangkan dalam perspektif 3 dimensi (keruangan) secara stereometrik dan goneometrik, maka sekurang-kurangnya kita dapat memiliki persepsi ruang dengan 10 dimensinya, yakni dimensi antariksa, dimensi atsmosferik, dimensi kolom ruang udara, permukaan air, kolom air, dasar air, tanah bawah dasar air, pesisir, daratan dan pulau kecil.

Kembali lagi kepada spesifikasi kategorik fungsi ruang wilayah sebagai lebensraum dan streitenraum maka belum sempurna jika kita belum menetapkan skala dan standar nilai kepentingan yang terkandung pada dimensi-dimensi ruang wilayah kita apalagi diperhitungkan dengan hubungan-hubungan faktorial antara kegiatan, faktor esensi lokasi, situasi serta kondisi yang melekat padanya.


Lokasi, situasi dan kondisi ruang wilayah menuntut kita untuk merumuskan fungsi-fungsi ruang wilayah berdasarkan ide perencanaan politik dan strategi pembangunan bangsa dan negara. Tata ruang wilayah mencakup sekurang-kurangnya lima konsep kontekstual persfektif keruangan, yaitu konsep integrasi wilayah nasional, konsep tata dimensional ruang wilayah, konsep tata nilai ruang wilayah berdasarkan lokasi, situasi, kondisi dan nilai-nilainya, konsep tata rezim hukum dan penegakkannya serta konsep perbatasan ruang wilayah. 

Konsep-konsep tersebut tentu saja akhirnya harus terjabarkan dalam tatanan berpikir serta tatanan penyikapan berdasarkan hasrat, niat, kemampuan (modalitas dan fakultas) serta tata laku yang berkomitmen (satya wacana). Itulah sebabnya perumusan-perumusan kebijaksanaan publik dalam bidang geopolitik, geo-ekonomi, geo-kultural serta geostrategi tidak layak dan tidak dapat diterima secara akal sehat apabila tidak didasarkan pada takdir alamiah bangsa kita yang hidup dan berjuang di sebuah negara nusantara dan kepulauan.

Dengan melihat uraian diatas tentang perjalanan sejarah bangsa-bangsa maritim nusantara, bangsa kita telah mengalami situasi 'up and down' yang berhubungan erat dengan situasi, kondisi dan lokasi geografis yang berkarakter maritim. Kejayaan dan keterpurukan negeri-negeri dijaman bahari tergantung benar pada kemampuan negeri itu untuk menguasai, memanfaatkan dan mengendalikan wilayah lautnya.

Sekurang-kurangnya kita boleh mencatat bahwa di jaman lampau ada 4 (empat) kelompok negeri maritim yang pernah berjaya. Yaitu Kesultanan Aceh, Kerajaan Islam Demak-Banten-Mataram, Kerajaan Makasar dan Kesultanan Ternate – Tidore. Namun tidak satupun dari keempatnya bisa bertahan menghadapi kekuatan maritim barat yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih canggih disertai perwatakan insan maritim yang penuh keberanian, berjiwa petualang, spekulatif, romantik, bergejolak dan cerdas.

Keterpurukan tersebut diakibatkan oleh karena bangsa-bangsa nusantara sejak abad XVII masehi telah mengalami degradasi perwatakan (karakter dan temperamen), serta degradasi mentalitas dan moralitas. Alhasil, proses kreatifitas, tingkat budaya, dan peradabannya mengalami kemunduran. Tentu saja proses degradasi tersebut dipengaruhi oleh dinamika lingkungan strategis dan dinamika lingkungan ekonomi serta peradaban dunia yang akhirnya membuat bangsa-bangsa barat menjadi mengemuka dan sangat dominan pada masa itu.
Takdir alamiah aspek kultural ini tentunya merupakan fakta yang tak terpungkiri. Bukan 'salah bunda mengandung' jika justru mayoritas bangsa Nusantara adalah etnis Jawa yang beragama Islam. Pasalnya, dapat dikatakan Jawa dan Islam adalah identitas kultural yang dapat dikategorikan dalam kondisi yang declining. Vectornya mengarah ke titik nadir dan elan vital yang sedemikian lemah sehingga tidak tanggap untuk mengubah arah vektor tersebut untuk menjadi lebih maju ataupun lebih kuat.

Penyebabnya adalah ketiadaan jiwa (spirit) yang merangsang hasrat untuk memperbaiki diri dalam konteks mentalitas, baik dari para pemimpin, penghulu, kepala adat, tokoh masyarakat maupun dari masyarakat itu sendiri. Bangsa Jawa yang mengaku Islam itu sesungguhnya jauh dari nilai-nilai ke-Islamannya karena dikenal sebagai bangsa yang korup, tidak manusiawi, munafik, terbelakang dan lain sebagainya. Gambaran lengkap atau citra diri dan citra mental negatif tersebut akhirnya terumuskan baik dalam TAP MPR tahun 2001 maupun dalam beberapa literatur dan tulisan ilmiah terkait watak masyarakat Indonesia pada umumnya.

Kembali kepada pertanyaan apa dan siapa yang keliru, mengapa bangsa Jawa yang notabene dianggap mayoritas tidak lagi menjadi kelompok dinamisator dan pelopor? Harapan mungkin tertuju kepada siapa saja yang berhasrat dan mampu untuk membawa dan memimpin bangsa ini dalam vektor kemajuan, lebih sejahtera dan lebih cerdas. Memang, untuk menjadi bangsa yang berwatak maritim perlu ada perubahan wawasan dan adanya orientasi dalam memanifestasikan sebuah gagasan, pemahaman dan penalaran, termasuk juga dalam mencitrakan mentalitas dan perilaku yang koheren dengan lebensraum dan streitenraumnya.
Watak adalah masalah yang berhubungan dengan ekologi, sosiologi, maupun psikologi, serta dipengaruhi pula oleh dinamika lingkungan budaya dengan segala kompleksitas sistemik, mekanik maupun realisasinya. Watak juga dipengaruhi oleh keyakinan, kepercayaan, mitos, legenda dan sejarah. 

Jikalau unsur-unsur tadi tidak membuat bangsa Indonesia menjadi berwatak maritim maka bolehlah kita bertanya-tanya,apa yang harus kita perbuat? Apakah pendidikan dan kurikulum cukup untuk dijadikan sebagai alat perubah? Apakah ada faktor lain, misalkan kepemimpinan dan kenegarawanan yang bisa menjamin terjadinya sebuah perubahan? Atau apakah ada situasi dan kondisi darurat serta keterdesakan yang dapat menstimulir elan vital dan imajinasi kreatif untuk menuju perubahan? Siapa yang akan memulai?

Beberapa kali bangsa kita dilanda azab dan sengsara yang berasal dari wilayah laut, namun belum ada gagasan antisipatif yang dapat memperkuat modal sosial kita untuk bangkit menjadi bangsa yang jaya, kaya dan menang dalam percaturan politik regional maupun internasional.

Bangsa kita memang selalu berhadapan dengan banyak pilihan, baik pilihan ideologi, ajaran, presep-konsep dan resep serta pilihan lainnya yang harus menjalani proses penalaran, pemahaman, pertimbangan agar keputusan penetapannya tidak keluar dari akal sehat. Jika memang ada kehendak, bangsa kita sebenarnya bisa memilih ajaran atau isme yang sesuai dengan takdir alamiah bangsa, yakni wawasan kelautan.


Wawasan kelautan pun pada nantinya akan terurai menjadi beberapa komponen pilar penyangganya, yaitu kekuatan laut, kekuatan perdagangan, dan kekuatan IPTEK. Kekuatan laut dapat dimengerti sebagai satu konsep kekuatan (dalam artian kadar kebebasan dan kemerdekaan untuk memanifestasikan hasrat terhadap miliknya atau penguasaan dan penerapan kedaulatan) yang ditunjang oleh adanya kekuatan armada (sipil-militer), sumber daya manusia berkualitas yang berkiprah didalamnya dan keberadaan sarana – prasarana penunjang maupun terkait (sistem kepelabuhanan, galangan, industri jasa maritim dan sebagainya). Kekuatan perdagangan adalah manifestasi dari adanya aktifitas perdagangan yang menguntungkan dan mensejahterakan bangsa kita melalui seluruh dimensi ruang hidup negara kepulauan, sedangkan dimensi ruang wilayah negara kepulauan itu haruslah dikuasai, dikendalikan, serta dimanfaatkan berdasarkan konsep penanganan dan pengelolaan yang terkonsep secara iptek.

Seluruhnya harus tercermin dalam formula kepentingan nasional yang kategorik maupun yang spekulatif, yang mendesak maupun bersifat nasional, lokal maupun internasional. Hal tersebut tidaklah sederhana namun harus dilakukan meskipun ruang juang kita selalu berada dalam bayang-bayang ancaman yang bisa datang dari segala arah (serba hadir-omni present), dengan segala kekuatan (serba kuat-omni potent) dan serba mengetahui. Toh pada akhirnya kitapun harus mampu menghadapi segala bentuk ancaman yang sifatnya global.

Kesiapan dan kewaspadaan menjadi inspiratif, prinsip ’sedia payung sebelum hujan’ (preventif antisipatif) harus menjadi acuan, dan ’civis pacem parabellum’ adalah konsep mind-set geostrategi yang harus dipegang teguh. Dengan rumusan ancaman yang secara dinamis di ’up date’, kita akan dapat mengukur dimana posisi politik kita dalam peta konstelasi, interaksi, interrelasi, interkoneksi, dan interdependensi hubungan internasional. Kitapun akan mengetahui posisi kekuatan dan kelemahan kita dalam posisi konfliktual maupun dalam posisi antagonis subjektif yang ada!.

Tak dapat dipungkiri bahwa, situasi kompromistis maupun konfliktual selalu berhubungan dengan capaian politik pihak-pihak yang memiliki kepentingan-kepentingan dan konsensus-konsensus yang ingin dipaksakan. Bagaimana cara atau metoda terbaik untuk merealisasikan niat ataupun hasrat untuk menjadi bangsa miskin yang kuat, berkuasa, berpengaruh, berwibawa dan kaya raya? Selain faktor nasib, maka faktor niat dan faktor usaha harus menjadi pegangan kita. 

Jika niat itu baik, maka pelaksanaan niat harus dilakukan oleh orang-orang terbaik atau lapisan masyarakat pemimpin dan negarawan terbaik (aristokrasi), tentu saja dengan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana metodanya? Selain seni kepemimpinan dan kenegarawanan, maka komponen agitasi dan propaganda tentu memegang peran dan peranan primordial. Memang pada saat ini sudah sangat mendesak bagi bangsa kita untuk memiliki pemimpin dan negarawan yang berwawasan kelautan, berwatak maritim dan memiliki misi yang jelas untuk mengubah bangsa yang sedang terpuruk lahir dan batin menjadi bangsa yang kuat, jaya, pemenang dan kaya raya! Untuk merealisasikannya dalam metodologi yang layak dan tepat, ada baiknya kita berangkat dari fakta heterogenitas bangsa dan mencari faktor-faktor diskriminan maupun faktor determinan! Termasuk konteks sebaran heterogenitas demografis yang sangat disparat dan heteroklit yang ada dalam bangsa kita."

Jadi BUKAN MIMPI DI SIANG BOLONG bila ada anak bangsa, seperti Jokowi menjadi Presiden RI untuk menjadikan Indonesia sebagai "Negara Poros Maritim" kelak kan?
Sejarah dan garis takdirnya bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa Maritim sudah ada, sekarang tinggal bagaimana MEMBANGKITKAN KEMBALI HASRAT ITU, MIND SETNYA, MENTALNYA, PENDIDIKANNYA, DAN SARANA PRASARANANYA.

Yang menjadi kata kuncinya adalah "4 D", yakni:

1. Dream, kencengkan pikiran kita secara kolektif untuk mewujudkan NEGARA MARITIM.
2. Dedication, mantep dan melebu aktifitas kita untuk mewujudkan NEGARA MARITIM.
3. Datas, kumpulkan seluruh data untuk sebagai bahan analisis dan literatur keilmuan serta kembangkan dengan imajinasi kita secara kolektif dalam mewujudkan NEGARA MARITIM tersebut.
4. Doer, perjuangkan sampai titik darah penghabisan.


Dodi Ilham
Revolt Institute
"The Fastest and Beyond"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Imune Revolution

Tentang Transfer Factor